Oleh: Abi Husna
Peran kedua orang tua sangat menentukan masa depan anak-anaknya.
Disamping ayah sebagai pemimpin keluarga begitupun ibu memiliki peranan penting
dalam hal pendidikan anak-anak (al-ummu kal madrasatil ula).
Betapa tidak, kedekatan anak dengan ibu secara emosional melebihi kedekatannya
dengan ayah. Semenjak dalam kandungan sampai lahir kedunia hingga tumbuh
dewasa. Kehidupan seorang anak tidak lepas dari peran seorang ibu termasuk
keberhasilan pendidikannya.v
“Hai orang-orang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu” (QS. Att-Tahrim : 6)
“Setiap diantara
kalian adalah pemimpin, dan akan diminta pertanggung jawaban”. (al-Hadits)
Usia Emas (golden age).
Setiap orang tua tentu merasa senang menyaksikan anaknya
aktif, kreatif, cerdas dan kritis. Tentu hal ini menjadi harapan dan kebanggan
tersendiri. Di usia 3 – 5 tahun anak sudah mulai belajar berfikir. Usia ini
disebut-sebut sebagai “golden age”. Apa yang ia lihat dan ia dengar dengan
cepat akan tersimpan dalam memorinya. Maka jangan heran akan sering muncul
pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan apa yang ia lihat, ia dengar dan
ia rasakan. Dengan harapan ia dapat memperoleh jawaban yang memuaskan.
Ketika mendapatkan satu jawaban dari setiap pertanyaan
yang dilontarkan, ia sudah mampu mengkorelasikan dengan logika yang ia miliki
saat itu. Termasuk keingintahuannya tentang Tuhan, ia akan mulai bertanya
“siapa Allah? Dimana Allah?.. tentu kita perlu berfikir dalam untuk mencari
jawabannya, jawaban yang sederhana, singkat dan jelas cukup membantu menemukan
keingintahuannya itu. Dan tentu saja disesuaikan dengan perkembangan nalar anak
Pada usia emas (golden
age) mereka tengah memahami dunia yang cukup mengherankan dimata mereka.
Menurut Carol Faulkner, Ph.D. seorang psikolog anak mengatakan “anak
kecil itu tak ubahnya orang dewasa di negara asing, mereka punya pengalaman dan
sensasi baru setiap hari. Terkadang menyenangkan, terkadang membingungkan”.
Sekedar contoh saja, hal ini terjadi pada anak saya Husna (3.5 tahun) ia pernah
menanyakan hal-hal yang tidak disangka. Dari soal kuping (baca; telinga),
keberadaan Allah, tentang surga, sampai soal kematian seseorang.
Berawal Dari Kuping
Husna rupanya menemukan sensasi menyenangkan ketika
memegang kuping orang tuanya, bahkan menjelang tidur sudah menjadi ritualnya
sehari-hari. Suatu ketika ia bertanya “Abi,
kuping beli dimana?”. Saya menjawab “kuping
ini pemberian Allah”. Tidak berhenti disini saja ia pasti akan bertanya
siapa dan dimana Allah berada. Konsekuensinya saya harus menjawab karena telah
memberikan informasi meyakinkan bahwa kuping itu pemberian Allah bukan beli
dengan sejumlah uang di toko. Dan benar saja, ia melanjutkan pertanyaan seperti
yang saya duga. “Allah ada dimana, bi..?”.
Perlu mencari kata yang tepat menjelaskan tentang
ketuhanan untuk seusia dia. Ketika anak bertanya tentang Tuhan, itulah moment
yang paling krusial yang dihadapi orang tua. Perlu kehati-hatian dalam menjawab
pertanyaan ini. Bila salah sedikit bisa berarti kita menamkan benih kesyirikan
dalam diri buat hati kita.
Dimana Allah berada? Jika jawaban Allah itu ada
dimana-mana. Khawatir anak akan berfikir Allah itu banyak dan terbagi-bagi.
Jika menjawab, Allah ada diatas, di langit, di surga, atau di ‘arsy, hal ini
menyesatkan logika dan nalar anak yang belum mampu memahami sejauh itu. bila
ada di langit berarti di bumi tidak ada, bila di surga kalau begitu surga lebih
besar dari Allah karena Allah ada di dalamnya, berarti prinsip Allahu akbar itu
bohong. Seketika itu saya langsung ambil tangannya dan menyentuhkannya tepat di
dada. ”Allah itu ada di hati anak yang baik dan sholehah”. Setelah memberi
jawaban itu saya merasa lega, mudah-mudahan itu jawaban terbaik yang saya
berikan terlepas dipahami atau tidak, yang jelas suatu saat ia dapat berfikir
bahwa Allah benar adanya. Saat ini dan mungkin nanti ia masih menyimpan
beberapa pertanyaan dalam benaknya. Pada perkembangannya bisa jadi ia akan
lebih ingin mengenal Allah pembuat kuping favoritnya itu.
Tentang Kematian
Pada moment tertentu ia menyaksikan suasana yang sungguh
berbeda, suasana yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. Orang-orang
disekitar diliputi suasana penuh duka karena meninggalnya seorang kerabat. Pada
saat itu ia menemukan kembali keadaan yang membingungkan. Beberapa orang
terlihat menunjukan ekspresi sedih bahkan ada yang menangis histeris, sebagian
lagi tampak sibuk mengurus jenazah. Sehingga ia terdorong untuk bertanya;
kenapa meninggal, kenapa dikubur, kalau dikubur bagaimana makan dan minumnya,
pulangnya bagaimana, dll.
Di usia 3 sampai 5 tahun, anak-anak masih cenderung
berfikir imajinatif bahwa kematian adalah perjalanan menuju alam sana, atau kematian itu
seperti tidur panjang dan kemudian akan terbangun lagi. Sehingga ia seolah
menunjukan kekhawatiran/keresahan tentang bagaimana keadaan orang yang ia kenal
itu masuk ke dalam kubur. Menghadapi situasi ini ia akan terjebak dalam
kebingungan mengenai kematian. Bagaimana cara orang tua menjelaskan kematian
dan bagaimana mereka menjawab tentang kematian kini menjadi sangat penting. Para orang tua harus mulai menyadari bahwa konsep
kematian yang dipahami anak akan berubah seiring dengan bertambahnya umur
mereka.
Saat menjelaskan kematian, orang tua biasanya harus
dihadapkan dengan beberapa fakta seperti penyakit, kecelakaan dan usia tua.
Kita bisa memilih informasi yang sesuai dengan kapasitas anak-anak untuk
memahaminya. Contoh jika anak berusia 3 tahun ingin tahu mengapa kakek/neneknya
meninggal, cukup mengatakan “Kakek/nenek sudah tua, sudah tidak kuat lagi”.
Tidak perlu menjelaskan panjang lebar dan mendalam yang hanya menambah
kebingungan anak saja. Bahkan penjelasan relijipun tidak selamanya dapat
membantu, hanya sedikit dari mereka yang bisa menerima penjelasan seperti
“Allah telah mengambilnya..” anak-anak nanti akan kesal terhadap Tuhannya. Atau
menjelaskan lebih dalam lagi seperti “Orang-orang yang baik, sholeh dan
sholehah setelah meninggal nanti akan masuk surga, disana kita bisa bertemu
dengan Allah”, anak-anak akan takut masuk surga karena sebelumnya harus mati
dulu.
Jangan biarkan anak kita terperangkap dalam kebingungan,
sehingga kebingungan tersebut berlarut yang akhirnya menghasilkan pemikiran
apatis setelah dewasa nanti. Kekhawatiran saya ini muncul ketika membaca satu
catatan perjalanan seorang mualaf yang menceritakan masa lalunya yang
membingungkan semasa kanak-kanak. Walaupun catatat tersebut menceritakan
tentang kehidupan seorang mualaf semasa kecil yang tumbuh dilingkungan
non-muslim tetapi hal ini patut diambil pelajaran. Setidaknya semua anak
mengalami tumbuh kembang cara berfikir yang sama baik muslim maupun non-muslim.
Gene Netto, seorang mualaf asal New Zealand (Selandia
Baru), lahir dilingkungan keluarga katolik, ia mengalami kebingungan ketika
mencari Tuhan. Saat itu ia berusia 9 tahun, ia bertanya kepada orang-orang
terdekat tentang Tuhan namun seringkali mendapatkan penjelasan yang tidak
memuaskan. Akhirnya ia berfikir bagaimana ia bisa mendapatkan penjelasan
tentang semua hal yang membingungkan. Satu-satunya jalan adalah bertemu
langsung dengan Tuhan.
Gene mulai bertutur; “Pada suatu hari, saya menunggu
sampai larut malam. Saya duduk di tempat tidur dan berdoa kepada Tuhan. Saya
menyuruh Tuhan untuk menampakan diri kepada saya supaya saya dapat melihat-Nya
dengan mata saya sendiri. Saya menyatakan bahwa saya siap percaya dan beriman
kepada Tuhan kalau saya bisa melihat-Nya sekali saja dan mendapatkan jawaban
yang benar dari semua pertanyaan saya. Kata orang Tuhan bisa melakukan apa
saja, kalau benar berarti Tuhan bisa muncul di kamar saya. Saya berdoa
bersungguh-sungguh dan menatap jendela kamar, menunggu cahaya Tuhan masuk dari
luar.
Saya menunggu lama sekali. Sepuluh menit, lima belas menit. Mana
Tuhan?. Kata orang Tuhan maha mendengar, berarti sudah pasti mendengar saya.
Saya menunggu lagi, dan melihat jendela.. Kenapa Tuhan belum juga datang?
Barangkali dia sibuk/ kena macet? Saya lihat jendela lagi. Setelah menunggu
sekian lama dan memberi kesempatan kepada Tuhan untuk muncul. Tetapi Tuhan
ternyata sibuk pada malam itu dan tidak hadir.
Hal ini membuat saya bingung. Bukannya saya sudah
berjanji bahwa saya akan percaya kepada-Nya kalau Dia membuktikan bahwa
Diri-Nya benar-benar ada? Kenapa Dia tidak mau menampakkan diri? Bagaimana saya
bisa percaya kalau tidak bisa melihat-Nya? Saya menangis dan tidur. Besoknya
saya berdoa lagi dengan doa yang sama. Hasilnya pun sama; Tuhan tidak datang
dan saya menangis lagi.
Ini merupakan contoh logika anak kecil. Dalam pengertian
seorang anak apa yang tidak terlihat, tidak ada. Apalagi sesuatu yang begitu
sulit didefinisikan seperti konsep “Tuhan”. Dan pada saat itu, Gene Netto kecil
terjerumus dalam kebingungan. Ia memutuskan untuk tidak percaya kepada Tuhan
hingga dewasa, sampai akhirnya ia menemukan kebenaran dalam Islam.
Diakhir catatan ini, saya menemukan satu kesimpulan
bahwa cara berfikir imajiner terhadap keberadaan Tuhan waktu kecil mempengaruhi
persepsi ketuhanan ketika dewasa. Peran orang tua sangat penting dalam
membimbing ketauhidan anak sejak dini, sehingga terhindar dari pola pikir yang
menyimpang. Jadi, jangan biarkan anak kita A T H E I S..!!!
Naudzubillah ..!!!
0 komentar:
Posting Komentar