Selasa, 06 Mei 2014

JANGAN BIARKAN ANAK KITA ATHEIS

Oleh: Abi Husna
 
Peran kedua orang tua sangat menentukan masa depan anak-anaknya. Disamping ayah sebagai pemimpin keluarga begitupun ibu memiliki peranan penting dalam hal pendidikan anak-anak (al-ummu kal madrasatil ula). Betapa tidak, kedekatan anak dengan ibu secara emosional melebihi kedekatannya dengan ayah. Semenjak dalam kandungan sampai lahir kedunia hingga tumbuh dewasa. Kehidupan seorang anak tidak lepas dari peran seorang ibu termasuk keberhasilan pendidikannya.v
Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS. Att-Tahrim : 6)



Setiap diantara kalian adalah pemimpin, dan akan diminta pertanggung jawaban”. (al-Hadits)



Usia Emas (golden age).

Setiap orang tua tentu merasa senang menyaksikan anaknya aktif, kreatif, cerdas dan kritis. Tentu hal ini menjadi harapan dan kebanggan tersendiri. Di usia 3 – 5 tahun anak sudah mulai belajar berfikir. Usia ini disebut-sebut sebagai “golden age”. Apa yang ia lihat dan ia dengar dengan cepat akan tersimpan dalam memorinya. Maka jangan heran akan sering muncul pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan apa yang ia lihat, ia dengar dan ia rasakan. Dengan harapan ia dapat memperoleh jawaban yang memuaskan.



Ketika mendapatkan satu jawaban dari setiap pertanyaan yang dilontarkan, ia sudah mampu mengkorelasikan dengan logika yang ia miliki saat itu. Termasuk keingintahuannya tentang Tuhan, ia akan mulai bertanya “siapa Allah? Dimana Allah?.. tentu kita perlu berfikir dalam untuk mencari jawabannya, jawaban yang sederhana, singkat dan jelas cukup membantu menemukan keingintahuannya itu. Dan tentu saja disesuaikan dengan perkembangan nalar anak



Pada usia emas (golden age) mereka tengah memahami dunia yang cukup mengherankan dimata mereka. Menurut Carol Faulkner, Ph.D. seorang psikolog anak mengatakan “anak kecil itu tak ubahnya orang dewasa di negara asing, mereka punya pengalaman dan sensasi baru setiap hari. Terkadang menyenangkan, terkadang membingungkan”. Sekedar contoh saja, hal ini terjadi pada anak saya Husna (3.5 tahun) ia pernah menanyakan hal-hal yang tidak disangka. Dari soal kuping (baca; telinga), keberadaan Allah, tentang surga, sampai soal kematian seseorang.



Berawal Dari Kuping

Husna rupanya menemukan sensasi menyenangkan ketika memegang kuping orang tuanya, bahkan menjelang tidur sudah menjadi ritualnya sehari-hari. Suatu ketika ia bertanya “Abi, kuping beli dimana?”. Saya menjawab “kuping ini pemberian Allah”. Tidak berhenti disini saja ia pasti akan bertanya siapa dan dimana Allah berada. Konsekuensinya saya harus menjawab karena telah memberikan informasi meyakinkan bahwa kuping itu pemberian Allah bukan beli dengan sejumlah uang di toko. Dan benar saja, ia melanjutkan pertanyaan seperti yang saya duga. “Allah ada dimana, bi..?”.



Perlu mencari kata yang tepat menjelaskan tentang ketuhanan untuk seusia dia. Ketika anak bertanya tentang Tuhan, itulah moment yang paling krusial yang dihadapi orang tua. Perlu kehati-hatian dalam menjawab pertanyaan ini. Bila salah sedikit bisa berarti kita menamkan benih kesyirikan dalam diri buat hati kita.



Dimana Allah berada? Jika jawaban Allah itu ada dimana-mana. Khawatir anak akan berfikir Allah itu banyak dan terbagi-bagi. Jika menjawab, Allah ada diatas, di langit, di surga, atau di ‘arsy, hal ini menyesatkan logika dan nalar anak yang belum mampu memahami sejauh itu. bila ada di langit berarti di bumi tidak ada, bila di surga kalau begitu surga lebih besar dari Allah karena Allah ada di dalamnya, berarti prinsip Allahu akbar itu bohong. Seketika itu saya langsung ambil tangannya dan menyentuhkannya tepat di dada. ”Allah itu ada di hati anak yang baik dan sholehah”. Setelah memberi jawaban itu saya merasa lega, mudah-mudahan itu jawaban terbaik yang saya berikan terlepas dipahami atau tidak, yang jelas suatu saat ia dapat berfikir bahwa Allah benar adanya. Saat ini dan mungkin nanti ia masih menyimpan beberapa pertanyaan dalam benaknya. Pada perkembangannya bisa jadi ia akan lebih ingin mengenal Allah pembuat kuping favoritnya itu.



Tentang Kematian

Pada moment tertentu ia menyaksikan suasana yang sungguh berbeda, suasana yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. Orang-orang disekitar diliputi suasana penuh duka karena meninggalnya seorang kerabat. Pada saat itu ia menemukan kembali keadaan yang membingungkan. Beberapa orang terlihat menunjukan ekspresi sedih bahkan ada yang menangis histeris, sebagian lagi tampak sibuk mengurus jenazah. Sehingga ia terdorong untuk bertanya; kenapa meninggal, kenapa dikubur, kalau dikubur bagaimana makan dan minumnya, pulangnya bagaimana, dll.



Di usia 3 sampai 5 tahun, anak-anak masih cenderung berfikir imajinatif bahwa kematian adalah perjalanan menuju alam sana, atau kematian itu seperti tidur panjang dan kemudian akan terbangun lagi. Sehingga ia seolah menunjukan kekhawatiran/keresahan tentang bagaimana keadaan orang yang ia kenal itu masuk ke dalam kubur. Menghadapi situasi ini ia akan terjebak dalam kebingungan mengenai kematian. Bagaimana cara orang tua menjelaskan kematian dan bagaimana mereka menjawab tentang kematian kini menjadi sangat penting. Para orang tua harus mulai menyadari bahwa konsep kematian yang dipahami anak akan berubah seiring dengan bertambahnya umur mereka.



Saat menjelaskan kematian, orang tua biasanya harus dihadapkan dengan beberapa fakta seperti penyakit, kecelakaan dan usia tua. Kita bisa memilih informasi yang sesuai dengan kapasitas anak-anak untuk memahaminya. Contoh jika anak berusia 3 tahun ingin tahu mengapa kakek/neneknya meninggal, cukup mengatakan “Kakek/nenek sudah tua, sudah tidak kuat lagi”. Tidak perlu menjelaskan panjang lebar dan mendalam yang hanya menambah kebingungan anak saja. Bahkan penjelasan relijipun tidak selamanya dapat membantu, hanya sedikit dari mereka yang bisa menerima penjelasan seperti “Allah telah mengambilnya..” anak-anak nanti akan kesal terhadap Tuhannya. Atau menjelaskan lebih dalam lagi seperti “Orang-orang yang baik, sholeh dan sholehah setelah meninggal nanti akan masuk surga, disana kita bisa bertemu dengan Allah”, anak-anak akan takut masuk surga karena sebelumnya harus mati dulu.



Jangan biarkan anak kita terperangkap dalam kebingungan, sehingga kebingungan tersebut berlarut yang akhirnya menghasilkan pemikiran apatis setelah dewasa nanti. Kekhawatiran saya ini muncul ketika membaca satu catatan perjalanan seorang mualaf yang menceritakan masa lalunya yang membingungkan semasa kanak-kanak. Walaupun catatat tersebut menceritakan tentang kehidupan seorang mualaf semasa kecil yang tumbuh dilingkungan non-muslim tetapi hal ini patut diambil pelajaran. Setidaknya semua anak mengalami tumbuh kembang cara berfikir yang sama baik muslim maupun non-muslim.



Gene Netto, seorang mualaf asal New Zealand (Selandia Baru), lahir dilingkungan keluarga katolik, ia mengalami kebingungan ketika mencari Tuhan. Saat itu ia berusia 9 tahun, ia bertanya kepada orang-orang terdekat tentang Tuhan namun seringkali mendapatkan penjelasan yang tidak memuaskan. Akhirnya ia berfikir bagaimana ia bisa mendapatkan penjelasan tentang semua hal yang membingungkan. Satu-satunya jalan adalah bertemu langsung dengan Tuhan.



Gene mulai bertutur; “Pada suatu hari, saya menunggu sampai larut malam. Saya duduk di tempat tidur dan berdoa kepada Tuhan. Saya menyuruh Tuhan untuk menampakan diri kepada saya supaya saya dapat melihat-Nya dengan mata saya sendiri. Saya menyatakan bahwa saya siap percaya dan beriman kepada Tuhan kalau saya bisa melihat-Nya sekali saja dan mendapatkan jawaban yang benar dari semua pertanyaan saya. Kata orang Tuhan bisa melakukan apa saja, kalau benar berarti Tuhan bisa muncul di kamar saya. Saya berdoa bersungguh-sungguh dan menatap jendela kamar, menunggu cahaya Tuhan masuk dari luar.



Saya menunggu lama sekali. Sepuluh menit, lima belas menit. Mana Tuhan?. Kata orang Tuhan maha mendengar, berarti sudah pasti mendengar saya. Saya menunggu lagi, dan melihat jendela.. Kenapa Tuhan belum juga datang? Barangkali dia sibuk/ kena macet? Saya lihat jendela lagi. Setelah menunggu sekian lama dan memberi kesempatan kepada Tuhan untuk muncul. Tetapi Tuhan ternyata sibuk pada malam itu dan tidak hadir.



Hal ini membuat saya bingung. Bukannya saya sudah berjanji bahwa saya akan percaya kepada-Nya kalau Dia membuktikan bahwa Diri-Nya benar-benar ada? Kenapa Dia tidak mau menampakkan diri? Bagaimana saya bisa percaya kalau tidak bisa melihat-Nya? Saya menangis dan tidur. Besoknya saya berdoa lagi dengan doa yang sama. Hasilnya pun sama; Tuhan tidak datang dan saya menangis lagi.



Ini merupakan contoh logika anak kecil. Dalam pengertian seorang anak apa yang tidak terlihat, tidak ada. Apalagi sesuatu yang begitu sulit didefinisikan seperti konsep “Tuhan”. Dan pada saat itu, Gene Netto kecil terjerumus dalam kebingungan. Ia memutuskan untuk tidak percaya kepada Tuhan hingga dewasa, sampai akhirnya ia menemukan kebenaran dalam Islam.



Diakhir catatan ini, saya menemukan satu kesimpulan bahwa cara berfikir imajiner terhadap keberadaan Tuhan waktu kecil mempengaruhi persepsi ketuhanan ketika dewasa. Peran orang tua sangat penting dalam membimbing ketauhidan anak sejak dini, sehingga terhindar dari pola pikir yang menyimpang. Jadi, jangan biarkan anak kita A T H E I S..!!! Naudzubillah ..!!!

Komca

Terima Kasih telah berkunjung dan membaca artikel ini.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright @ 2013 Komunitas Baca Mata Hati.

Designed by Templateism | MyBloggerLab | Distributed by Rocking Templates