Oleh: Malakasinu
Bebuka
Pada dasarnya bias iklan terjadi karena media tidak berada
diruang vakum. Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan
berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang komplek dan beragam.
Louis althusser (1971, dalam Al- Zastrouw, 2000) menulis
bahwa media, dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis,
terutama karena anggapan akan kemampuannya sebagai sarana legitimasi. Media
sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, seni, dan kebudayaan, merupakan
bagian dari alat kekuasaan Negara yang bekerja secara ideologis guna membangun
kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa.
Akan tetapi, pandangan Althusser tentang media ini dianggap
Antonio Gramsci (1971, dalam Al- Zastrouw, 2000) mengabaikan resistensi
ideologis dari kelas tersubordinasi dalam ruang media. Bagi Gramsci, media
merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi.
Antonio Gramsci melihat media sebagai ruang dimana berbagai
ideologi direpresentasikan. Ini berarti, disatu sisi media bisa menjadi sarana
penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan control atas wacana publik.
Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan.
Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kelas
dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas
untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.
Walaupun terjadi keritik antara Althusser dan Gramsci,
namun kedua pemikir itu sama-sama sepakat bahwa media bukan sesuatu yang bebas,
independen, tetapi memiliki keterkaitan dengan realitas sosial. Jelasnya, ada
berbagai kepentingan yang bermain dalam media.
Disamping kepentingan ideologi antara masyarakat dan
Negara, dalam media juga terselubung kepentingan yang lain, misalnya
kepentingan kapitalisme pemilik modal, kepentingan keberlangsungan lapangan
kerja bagi para karyawan dan sebagainya. Dalam kondisi dan posisi seperti ini,
media tidak mungkin berdiri statis di tengah-tengah, dia akan bergerak dinamis
diantara pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. Kenyataan inilah yang
menjadikan bias informasi dimedia adalah sesuatu yang sulit dihindari.
Oleh sementara orang, media acap kali disebut sebagai the
fourth estate (kekuatan keempat) dalam kehidupan sosial-ekonomi politik. Hal
ini terutama disebabkan oleh suatu persepsi tentang peran yang dapat dimainkan
oleh media dalam kaitannya dengan pengembangan kehidupan sosial-ekonomi dan
poitik masyarakat.
Sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian,
atau gambaran umum terntang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan
sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik, antara lain, karena media
juga dapat berkembang menjadi penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan
suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam
kehidupan yang empiris.
Sehubungan dengan hal tersebut, sebenarnya media berada
pada posisi yang mendua, dalam pengertian bahwa ia dapat memberikan pengaruh-pengaruh
positif maupun negatif. Tentu saja, atribut-atribut normatif ini bersifat
sangat relatif, bergantung pada dimensi kepentingan yang diwakili.
Berdasarkan kemungkinan yang dapat diperankan kita itu,
media (media massa) merupakan sebuah kekuatan raksasa yang sangat
diperhitungkan. Dalam berbagai analisis tentang kehidupan sosial, ekonomi, dan
politik, media sering ditempatkan sebagai sebagai salah satu variabel
determinan. Bahkan media, terlebih dalam posisinya sebagai saluran informasi,
dapat pula dipandang sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses-proses
perubahan sosial-budaya dan politik.
Salah satu dari media yang paling efektif adalah televisi. Ketika
kita menonton televisi kerap kali kita disuguhi berbagai macam iklan disamping
acara-acara utama lainnya. Dari banyaknya iklan di televisi ini, tak jarang
pula ada iklan yang nampak biasa-biasa saja. Namun apabila kita kaji dan
perhatikan lebih mendalam, di sana kita dapat menemukan berbagai pesan yang
terbungkus atau tersembunyi (sebut saja ideologi), baik itu memang disengaja
dibuat demikian (“dibalut”) atau memang unsur ketidaksengajaan yang muncul
sebagai efek.
Yang paling menarik di antara iklan-iklan tersebut salah
satunya adalah iklan kecantikan. Baik itu iklan sabun, sampo, pemutih atau
lainnya yang berhubungan dengan kecantikan dan wanita. Sebab dalam iklan-iklan
tersebut kadang ada yang dengan jelas menyebutkan “sesuatu” yang biasanya
tersembunyi.
Memang pesan dalam iklan tersebut tujuan awalnya adalah
agar konsumen tertarik membeli dan mengkonsumsinya, namun kini menjadi lain
ketika dalam iklan itu dibubuhi kalimat atau komentar yang menyertai iklan itu
misalnya ungkapan: “temukan kecantikan sejati”. Dan bisa jadi yang
demikian itu karena ditumpangi suatu kepentingan (ideologi) tertentu.
Apa Sih kang Dadi Masalahe?
Mengacu pada latar belakang di atas, yang menjadi
permasalahan adalah iklan kecantikan semisal sabun mandi, pemutih wajah dan
lainnya serta efek yang muncul (pemaknaan) dari iklan tadi, yang mungkin di
sadari atau tidak dapat menggiring opini masyarakat terhadap sesuatu. Misalnya
opini atau konsep kecantikan. Oleh karena itu, kajian ini berusaha menelusuri
“sesuatu” yang terselubung di dalam iklan kecantikan, selain fungsinya sebagai
ajang promosi suatu produk.
Patokan Teori
[istilah Jare mahasiswae kukuh, sambir diarani ilmiah]
Metode yang penulis gunakan pada intinya adalah semacam
metode analisis isi-interpretatif yang bersandar pada teori semiotik. Hingga
dapat dikatakan ini adalah metode semiosis. Di mana dalam metode ini langkah
yang ditempuh adalah mengurai aspek-aspek tanda dan menganalisis relasi dari
masing-masing aspek tersebut, yang dari relasi itu dapat memunculkan makna
tertentu, bahkan maknanya dapat berlapis.
Dasar Pemikiran
[itung-itung teori kang dadi sandaran, jeh]
Semiotik sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial
memahami dunia sebagai system yang memiliki unit dasar yang disebut dengan
‘tanda’. Dengan demikian semiotik mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu
tanda. Umberto Eco menyebut tanda sebagai “kebohongan”; dalam tanda ada sesuatu
yang tersembunyi di baliknya dan bukan merupakan tanda itu sendiri. Menurut
Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas, dikonstruksikan oleh
kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial.
Itu pula yang memunculkan pendapat Paul Watson, salah
seorang pendiri Greenpeace, tentang prilaku media massa. Menurutnya
konsep kebenaran yang dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tetapi
sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Kebenaran ditentukan media
massa.
Jika sinyalemen ini benar, dapat kita bayangkan betapa
beratnya tugas pembaca berita atau penonton televisi dalam menyikapi dan
“membaca’ acara, atau iklan yang sudah menjadi santapan sehari-hari. Penerima
informasi dituntut memiliki kemampuan memadai untuk menyaring sebuah informasi
baik apakah itu berupa berita, filem, iklan atau lainnya.
Karena itu, salah satu cara untuk membantu kita memnyikapi
informasi-informasi tersebut adalah konteks informasi itu. Lewat konteks
informasi, kita dapat memahami masalah yang ada. Lewat konteks ini kita dapat
menyadari atau “ngeh” bahwa dalam informasi tersebut, disamping
dihidangkan “madu, juga mengandung hidangan “racun”. Melalui konteks ini kita
dapat mengerti bahwa sesuatu yang buruk bisa dibungkus dengan bahasa yang manis
sehingga tampak samara-samar dan menyenangkan.
Isi media pada hakikatnya adalah hasil kontruksi realitas
dengan tanda sebagai perangkat dasarnya. Ia bukan saja dapat menjadi alat
merepresentasikan realitas, namun juga dapat menentukan relief seperti apa yang
akan diciptakan oleh tanda tentang realitas tersebut. Sehingga mempunyai
peluang besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari
realitas yang dikonstruknya.
Karena itu, dalam banyak kasus, kita temukan berbagai
kepentingan yang memiliki kekuasaan mengendalikan makna di tengah-tengah
pergaulan sosial melalui media. Dalam media tanda tidak lagi semata alat untuk
menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa menentukan gambaran atau citra
yang akan muncul di benak masyarakat.
Lalu bagaimana kita supaya tidak terjebak oleh berbagai
informasi, agar kita tidak tersesat? Salah satu jawaban yang tepat adalah kita
mesti hati-hati dan waspada serta pandai membaca ‘tanda’ apapun yang kita
terima, lebih-lebih berupa informasi yang datangnya dari media, baik itu
elektronik atau lainnya.
Berbagai ‘cara baca’ pun telah disuguhkan oleh para pakar,
mulai dari analisis framing, labelling, analisis wacana dan lain sebagainya,
semuanya diperuntukkan untuk ‘membaca’ media. Karena, sebagaimana telah
disinggung di atas, bahwa media menjadi suatu ajang ‘pertarungan’ dari berbagai
kepentingan.
Sebagai model pendekatan, semiotika memiliki wilayah
cakupan yang luas meliputi berbagai bidang keilmuan, keagamaan, estetika, dan
budaya. Ke empat wilayah ini memiliki korelasi dan ciri khas masing-masing.
Pada bidang budaya, korelasi antara tanda-tanda adalah dengan nilai-nilai sosial
yang ada pada lingkungan masyarakat tertentu, bahkan idiologi.
Secara teoritik, semiotika berusaha untuk dapat memjelaskan
semua permasalahan fungsi tanda, bahkan mempertimbangkan teori kode dan teori
produksi tanda. Beranjak dari sini, pada dasarnya semiotika berhubungan dengan
segala hal yang dapat dianggap sebagai tanda. Tanda adalah sesuatu yang dapat
dianggap sebagai pengganti sesuatu yang lain secara signifikan. Sesuatu yang
lain itu tidak harus ada benar-benar ada di suatu tempat pada saat tanda
menggantikannya.
Sebab itulah, Eco mengajukan teori dusta sebagai dasar
kajian semiotik umum yang komprehensif, karena pada prinsipnya semiotika adalah
disiplin ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
mendustai, mengelabui, atau mengecoh.
Dari beberapa tokoh semiotik yang ada, pada intinya
membahas masalah tanda dan bagaimana kita “membaca” tanda tersebut. Roland
Barthes, salah seorang tokoh semiologi, terkenal dengan semiotika konotasinya.
Dalam teori ini, para ahli semiotika tidak berpegang pada makna primer
(denotasi) tanda yang disampaikan, melainkan berusaha mendapatkan makna
sekunder (konotasi) yang juga dipunyai tanda itu.
Roland Barthes membagi tingkat pertandaan menjadi dua, yaitu
tingkat pertandaan denotatif dan tingkat pertandaan konotatif. Denotasi
merupakan tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan
petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, menghasilkan makna
eksplisit, dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak.
Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang
tidak eksplisit, terbuka terhadap berbagai kemungkinan. Memunculkan makna-makna
lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek.
Dalam
semiologi, makna denotasi dan konotasi memegang peranan sangat penting. Makna
denotasi bersifat langsung yaitu makna yang khusus yang terdapat dalam sebuah
tanda, gambaran sebuah petanda. (Arthur Asa Berger, 2000:55) Misalnya buku, maka makna denotasi
yang terkandung adalah “sebuah buku yang terbuat dari kertas, berisi tulisan,
dengan penyusunan tertentu dan seterusnya. Sedangkan makna konotatif akan
dihubungkan dengan konteks yang tersirat dalam pembungkusnya.
Konteks ini merupakan sesuatu yang
diluar teks yang dapat ‘menentukan’ makna tertentu. dengan adanya atau melihat
konteks tersebut kita dapat lebih memahami, atau setidaknya mendekati makna
yang cocok atau benar. Sebab tanda dapat diproduksi dan sekaligus memproduksi
tanda. Demikianlah sehingga memunculkan apa yang disebut rantai semiosis.
Ana Apa ning
sewalike Iklan Kecantikan?
Nampak
seorang gadis berwajah putih, orang-orang di sekelilingnya menatap penuh
kekaguman. Dan di akhir iklan terdengan suara “Seputih kilau mutiara”. Pada
iklan yang lain, masih tema kecantikan, seorang gadis sedang membalurkan
pemutih wajah, seketika wajahnya menjadi putih bersinar dengan diiringi kalimat
“temukan kecantikan sejati”.
Bila hanya di lihat sekilas, semua
orang tahu bahwa itu hanyalah iklan. Untuk menarik para konsumen, maka iklan
dibuat sedemikian rupa agar masyarakat tertarik membeli produk yang
ditawarkannya. Bahkan banyak di antara peroduk, melalui iklannya seolah hanya
produknyalah yang paling jempolan.
Dari iklan-iklan yang ada, seperti
di atas, pada awalnya ingin memberikan dorongan agar masyarakat membeli formula
tersebut yang berguna untuk merawat kulit, akan tetapi dari iklan yang tampil
seolah (bahkan) menggiring masyarakat kepada opini bahwa formula itu bukan
sekedar perawatan bahkan lebih dari itu, yaitu sesuatu yang dapat memberikan
“perubahan”. Kulit kusam dan hitam akan berubah menjadi putih berseri.
Jika diperhatikan lebih jauh,
ternyata hampir di setiap iklan kecantikan, entah itu sabun mandi, pemutih
wajah atau lainnya semuanya mengarahkan kepada pengertian bahwa kecantikan
seseorang ditentukan oleh putihnya wajah. Jika demikian adanya, lalu bagaimana
nasib orang yang tidak putih kulitnya?
Kecantikan bukan dilihat dari segi
fisik saja, misalnya wajah putih. Memang kecantikan tidak dapat ditentukan
secara pasti [sifatnya subjektif], akan tetapi setidaknya ada standar atau
batas-batas yang setiap orang mengakui bahwa itu cantik atau indah. Dari segi
fisik, kemungkinan besar, menurut hemat saya kecantikan bukan ditentukan dari
putih atau kuningnya wajah seseorang, tetapi dari harmoni yang tercipta dalam
sekujur tubuh seseorang.
Misalnya
wajah [pusat perhatian], ia akan terlihat cantik karena di situ ada harmoni,
yaitu relasi yang berhubungan secara seimbang. Bentuk hidung, bibir, mata,
alis, dagu, mulut, dan bentuk wajah masing-masing berelasi satu sama lain
secara harmoni atau relasi yang cocok. Dapat dibayangkan jika bibirnya, katakan
saja terseksi di dunia namun hidungnya panjang seperti hidung dawala.
Selain itu, kecantikan juga bukan
hanya dari fisik yang ditampilkan. Prilaku dan sikap seseorang juga berperan
menentukan kecantikan. Singkatnya cantik itu indah dalam lahir dan batin.
Dalam
iklan-iklan tadi, secara tak sadar telah melakukan perubahan atau pergeseran
pemaknaan. Putih menjadi penanda bagi kecantikan. Menggeser konsep kecantikan yang luas hanya pada
putihnya kulit wajah. Bahwa yang cantik adalah orang yang berkulit putih. Jika
seseorang [gadis] ingin cantik, maka ia mesti menggantikan kulitnya dengan
warna putih. Ini dapat dilihat jelas dari iklan tersebut yang mengidentikkan
kecantikan dengan putihnya wajah (baca:kulit).
Dari pergeseran tersebut dapat
timbul pemaknaan baru yang tersimpan dari iklan tersebut, yaitu orang yang tidak
putih wajahnya tidak akan pernah cantik, bahkan lebih parah lagi, bahwa orang
yang berkulit putih lebih diperhatikan dan dihargai.
Masih
banyak lagi makna-makna baru yang dihasilkan, misalnya orang putih itu
mempesona, menarik, dan indah. Sementara orang yang berkulit hitam, coklat,
atau lainnya adalah orang yang tidak menarik, tidak mempesona, dan
stigma-stigma negatif lainya. Singkatnya orang berkulit putih lebih unggul dari
yang tidak berkulit putih. Iklan ini menggiring masyarakat menilai seseorang
dari warna kulitnya [rasisme]. Jelas ini menyesatkan!
Bahkan jika ditelusuri lebih jauh,
maka yang dihasilkan akan semakin berlapis dan berkembang. Bila kita kaitkan
dengan warna kulit putih, maka di muka bumi ini penduduk benua Eropa-lah
(Barat) yang diuntungkan sebab merekalah yang memiliki warna kulit putih.
Dengan kata lain, jika anda ingin dihargai, mempesona, cantik dan lain-lain
yang serba menarik, maka jadilah seperti orang Eropa tersebut.
Dari perkembangan makna ini kita
“memperoleh’ makna yang lebih ‘menyeramkan’ yaitu bahwa dari iklan itu kita (terutama
Indonesia umumnya berkulit sawo matang atau hitam manis) disisihkan
(diskriminasi), diposisikan sebagai inferior dan mereka (Eropa) sebagai
superior. Maka tatkala terjadi relasi superior-inferior, hubungan ini
memunculkan relasi subjek-objek, di mana kita posisinya adalah sebagai objek.
Dan saat hubungan seperti itulah,
yakni tiada adanya kesejajaran, pengakuan satu sama lain/penghargaan, maka muncullah
dari satu pihak yang menjadikan dirinya sebagai subjek menguasai dan
mengendalikan pihak lain yang diposisikan sebagi objek oleh mereka. Pada
awalnya sederhana, namun akhirnya memunculkan rasisme kemudian hegemoni dan
penjajahan. Dan yang terjadi adalah bukan penjajahan secara fisik (dalam arti
perang senjata) melainkan mental kita telah disetir, dikendalikan oleh opini
yang diciptakan. Dan memang itu kesan yang kadang memang disengaja untuk dimunculkan,
hanya saja kita tidak menyadarinya.
Kita dapat melihat kenyataan ini,
sebagai contoh dan yang paling mudah ditemui adalah apa yang tergambar dalam
gaya hidup. Banyak di antara generasi kita yang lebih memilih berkiblat kepada
barat, mulai dari cara berpakaian hingga tetek bengek. Mungkin ini adalah salah
satu dari akibat tidak memiliki kemampuan untuk menyaring dan “membaca” setiap
informasi yang datang kepada kita.
Kesimpulan
Dari uraian singkat dan sederhana di
atas, kiranya kita dapat menemukan bahwa ternyata suatu informasi dapat
memiliki peluang, di samping ia menjalankan sesuai tujuan kadang juga
diboncengi “sesuatu” yang terbungkus di dalamnya. Ada manis dan pahitnya.
Dalam iklan kecantikan, kita dapat
membaca bahwa selain memiliki fungsi sebagai media promosi, ia juga dapat
memberikan dan memnggiring opini, bahkan mencetak makna sesuai dengan
kepentingan atau ideologi tertentu.
Referensi:
Berger, Arthur Asa. 2000. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer,
Yogyakarta: Tiara Wacana
Cobley, Paul & Litza Jansz.2002. Mengenal Semiotika; For Beginners,
peny. Ciptadi Sukono, Bandung:
Mizan
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes, Magelang: Indonesiatera
Piliang, Yasraf Amir . 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural studies
atas Matinya Makna, Bandung: Jalasutra
Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media; Suatu pengantar untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya,
Sunardi, ST, Semiotika negativa, Yogyakarta:
Kanal