Selasa, 29 April 2014

MODEREN YANG BIKIN MODAR

Oleh: Malakasinu
Jika, kalau, atau seandainya moderen itu pengertiannya hanya merujuk kepada wujud fisik dan kemajuan teknologi yang dicapai dari suatu peradaban. Atau jika moderen itu biasa dikaitkan dengan semakin gemerlapnya dunia yang sudah tua ini. Dunia yang semakin keropos dan dipenuhi luka-luka akibat ulah tangan manusia yang katanya berperadaban maju.
Anggap saja moderen seperti itu. Manusia semakin berlaku aneh. Hal-hal yang sebelumnya tidak pernah dikenal atau ada kemudian menjadi ada. Gedung-gedung semakin rapat, hamparan sawah menjadi ladang beton, langit biru semakin pucat, dan masih banyak lagi akibat yang ditimbulkan si “moderen” tersebut.
Kita lupakan sejenak hal-hal yang membuat kita miris. Kini kita beralih  pada moderen yang “seksi”. Bumi yang konon sudah tua dan rapuh ini. Pada kenyataannya, semakin bertambah umur semakin seperti seorang gadis ranum. Seorang belia yang berumur belasan tahun. Yang sedang menebarkan pesonanya dan merajuk siapa saja, sehingga membuat tenggelam bagi siapa yang jatuh ke dalam pelukannya.
Bukankah kita cenderung lebih menyukai hal yang menarik, membangkitkan gairah atau selera. Dunia ini memang indah. Isinya pun indah. Segala kesenangan dapat di peroleh. Di dunia ini, kita pun dapat bersenang-senang, meskipun bergelimang masalah. Bukankah saat bersenang-senang juga adalah masalah. Misalnya kita bermain bola di jalan raya, bukankah itu masalah? Dan tentu itu juga menjadi masalah bagi kita sendiri [disemprot alias dimarahi orang lain, atau diserempet motor misalnya]. Tapi ada slogan yang menarik dari salah satu Perum milik pemerintah yang berbunyi “Mengatasi masalah tanpa masalah”. Seandainya itu benar, kita gadaikan saja hidup kita ke Perum tersebut. Sayangnya belum terbukti.
Anggap saja zaman sekarang adalah era moderen. Yaitu era dimana segala kepuasan, kebebasan, dan kemajuan manusia terus berkembang seperti tidak mengenal batas. Di mana segala bidang mengalami perkembangan yang menakjubkan. Terutama dalam bidang sains dan teknologi. Tidak ketinggalan pula prilaku moderen para penghuninya.
Mungkin kita dapat menyaksikan salah satu atau beberapa ciri-ciri kemajuan itu, misalnya, dari sisi gaya berpakaian. Ada kaum perempuan dalam hal berbusana semakin maju dadanya [memang seperti itu], dikarenakan pakaian yang ia kenakan begitu ketat sehingga entah terpaksa atau sengaja membuat bagian  “itu” nya semakin menonjol. Atau celana yang dikenakan menampilkan wilayah segitiga berbentuk sesuai aslinya. Bedanya adalah ia terbalut pakaian. Ada pula yang berbusana namun seolah ia kekurangan bahan, atau belum selesai dijahit. Sehingga menyisakan sebersit warna putih dibalik sobekan [celah]. Dan hal yang demikian itu, kita pun maklum namanya juga moderen. Bahkan ada yang berpakaian namun bagian “semangka”-nya seakan-akan hendak meloncat dan menerkam setiap lelaki yang memandangnya.
Di era moderen ini, gaya kehidupan pun semakin asyik. Orang dapat melakukan apapun yang ia kehendakinya. Segala macam bentuk hiburan dan kenikmatan disediakan untuk melepaskan kehausan para manusia moderen. Semua hal kian menarik dan menggairahkan sebagaimana era moderen yang semakin seksi dan tak segan–segan tampil erotis. Tak dapat dipungkiri, kita begitu terpikat akan kehidupan moderen ini.
Di era moderen ini, segala yang menghambat pemuasan nafsu dianggap sebagai penghalang kemajuan. Hal yang digembor-gemborkan biasanya adalah kebebasan berekpresi, isu HAM dan hal-hal yang lebih  memberikan keleluasaan bagi berkembangnya kemaksiatan. Anda dapat menyaksikan media masa, baik elektronik maupun cetak semua menawarkan dan dipenuhi kenikmatan semu. Majalah, tabloid hingga koran dipenuhi gambar-gambar yang dapat mengundang “gerimis”. Sekalipun bagi bocah yang masih bau kencur.
Melihat hal seperti di atas, kita menjadi bingung dalam mengartikan moderen yang sebenarnya. Saya pun masih belum mengerti betul [hingga sekarang] apa itu moderen. Sekaligus merasa prihatin. Pernah ku mencoba bertanya kepada banyak orang untuk mencari maksud dari moderen. Namun semua jawaban hampir tidak jauh berbeda. Ada yang mengatakan moderen itu luas pengertiannya. Dan tak jarang pula yang menunjukkan pengertian moderen kepada hal-hal yang seperti telah disinggung di atas.
Sebagai selingan [terserah dianggap iklan juga]. Sekarang sedikit mendongeng. Ada salah seorang dari desa, sebut saja, mang Midun. Ia adalah penduduk kampung yang masih jauh dari bisingnya kehidupan yang katanya moderen. Namun demikian mang Midun dapat merasakan adanya perbedaan antara waktu semasa ia masih muda [kini ia berumur 70 tahun], dengan masa sekarang. Kampungnya termasuk kategori daerah tertinggal, jalan pun belum beraspal. Jalan hanya dipenuhi Lumpur jika musim penghujan datang dan bila kemarau tiba maka batu-batu sebesar kepala akan nampak menyeringai. Yang membuat ia merasakan perubahan adalah dari gaya hidup para penduduknya, terutama generasi muda. Setiap menanyakan apa yang terjadi, ia hanya mendengar selentingan karena sekarang adalah era moderen.
Dulu semasa muda, ia tidak pernah mendapati pemuda yang ditindik telinga atau hidung. Kini hal tersebut mudah saja menjumpai para pemuda seperti itu. Dulu tak ada perempuan yang tampil nyentrik. Sekarang suasana telah berubah. Penampilan para anak gadis desa membuat mang Midun lupa ia sudah berumur mendekati satu abad. Dan itu berarti semakin mendekati kontrak yang telah ditentukan. Mang Midun hanya termangu jika menyadari umurnya itu. Begitulah umur, layaknya jarum menit pada jam. Jika diperhatikan sepertinya ia tidak pernah berpindah. Namun jika kita melalaikannya, tiba-tiba saja sudah berpindah.
            Mang Midun berpikir. setidaknya ia mengenal tentang ekonomi, meski tidak banyak. Sebab selama hidupnya ia berprofesi sebagai tukang Siomay. Tentunya sesuatu yang banyak diproduksi adalah sesuai dengan permintaan pasar, itu menurut teori ekonomi. Tetapi pada kenyataanya menunjukkan hal yang berbeda. Toh, industri yang begituan semakin berkembang pesat.
Dalam kehidupan sehari-haripun ia dapat menyaksikan bagaimana para gadis yang berpakaian. Banyak di antara yang berjilbab, namun dari sisi pakaian lebih pantas mereka melepaskan saja kerudungnya itu. Pikir mang Midun. Namun kini hal tersebut menjadi lumrah dan merupakan pemandangan biasa.
Hal seperti itu tidak hanya terdapat di kota. Bahkan di tempat mang Midun sendiri, yang merupakan desa terpencil. Jalan hanya dipenuhi batu sebesar kepala kerbau yang bertonjolan. Namun keadaan masyarakatnya sudah tidak jauh berbeda keadaannya dengan kota. Tidak sedikit para pemudanya yang sudah bertingkah aneh. Ada yang ditindik hidungnya, telinganya, bahkan ada pula bibirnya. Begitu pula para gadisnya dalam hal berpakaian. Katanya sih mengikuti perkembangan zaman.
            Yang menjadi bahan pikiran mang Midun sekarang, ia masih dipusingkan oleh istilah moderen. Ia sering mendapatkan kata-kata tersebut saat ia menanyakan kepada beberapa pemuda dan pemudi. Suatu saat ia bertanya pada salah satu pemuda yang ditindik hidungnya dan bertato lengannya. Maksud kamu apa sih berpenampilan seperti itu? Pemuda tersebut menjawab dengan antusias, “moderen mang”. Begitu pula tak sedikit jawaban yang diungkapkan oleh para gadis yang berpakaian Ehm …, jawabannya tak jauh berbeda. Katanya modis dan moderen, mengikuti perkembangan zaman. Segala macam prilaku aneh lainnya yang sebelumnya tidak pernah ada dan terjadi, mereka semua menjawab moderen.
            Ada seorang gadis yang berkerudung, namun kaos yang ia kenakan menyisakan pusarnya untuk dinikmati oleh siapa saja yang melihatnya. Ketika ditanya, kenapa ia memakai jilbab. Ia langsung menjawab spontan hal itu dilakukan untuk menutup aurat, ucapnya, sebab bagi perempuan [kata dia] adalah aurat yang mesti ditutupinya (sok teologis bangeet). Waw .mang Midun hanya bisa terpaku mendapat jawaban seperti itu, sesekali matanya menyantap pemandangan dan ia iseng bertanya, kalau yang itu? [sambil menunjuk ke arah pusar] Gadis itu berujar, “ah mamang, mamang kan sudah tua! Mang Midun pun tak kalah gesit, “boleh dong yang tua pun ikut moderen”, balasnya. “Itu sih bukan moderen mang”, timpal gadis itu lagi. “lho kan neng bilang tadi moderen”.

HATI-HATI DENGAN HATI "DAHSYATNYA SYAHADAT"

Oleh: Abi Husna
 
“Galau” kata yang sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Dalam KBBI kata ini memiliki persamaan dengan kacau pikiran, bimbang, bingung, cemas dan gelisah. Kata galau akan lebih tepat bila disebut bimbang, namun pengertiannya lebih pada arah bentuk kecemasan seseorang. Nah, mungkin kita sering merasakan itu. Bila diperhatikan, tidak jarang kita menemui status facebook atau twitter yang berisi kegalauan dari pemilik akun. Biasanya mereka menunjukkan kegalauan dengan status mengeluh, menunjukkan diri sedang resah, bingung, dan pikiran kacau. Apakah galau termasuk gangguan psikologis?

Ya, makanya hati-hati gan jangan sampai kegalauan Agan menjadi kronis. Kalau sudah kronis apa kata dunia???. Menurut psikologi Islam semua itu erat kaitannya dengan hati gan. Ga percaya? Tanya aja ke Prof. Dr. Zakiah Darajat, Wkwkwk...! Menurut beliau, semua gejala ketidaknormalan individu serta Kondisi perasaan yang tidak menyenangkan seperti frustasi (perasaan tertekan), konflik jiwa (pertentangan batin), cemas/anxiety (semacam ketakutan yang amat sangat, tidak jelas sebabnya dan tidak mudah mengatasinya). Kemudian disamping itu dikenal pula gangguan kejiwaan (psychoneurosis) dan penyakit kejiwaan (psychosis). semua kelainan tersebut dikatakan dengan satu istilah saja, yaitu “penyakit hati”.

Nah lho.. Kenapa hati selalu disebut-sebut ya Gan?, dalam kehidupan sehari-hari misalnya, ketika kita melihat sesorang mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, kita akan berteriak.. hai, HATI-HATI bokat tiba!!! (Baca: terjatuh). kemudian ada orang mengeluh dengan pekerjaannya; “Sudah capek-capek kerja, Cuma digaji 100 ribu, Makan HATI..!!. Dan ketika anak muda jatuh cinta kepada lawan jenisnya ia berkata “aku ada HATI sama dia”, dan lain sebagainya.

Sampai-sampai, Aa Gym juga menawarkan Manajemen Qolbu dalam setiap dakwahnya. Seberapa pentingkah “hati” itu? Menurut Rasulullah, hati itu memiliki kedudukan yang sangat penting disamping akal, dan hati dijadikan barometer baik buruknya seseorang.

  ﺍن ﻔﻰﺍﻟﺠﺴﺪ ﻤﻀﻐﺔ ﺍﺬﺍ ﺼﻠﺤﺖ ﺼﻠﺢ ﺍﻠﺠﺴﺪ ﻜﻠﻪ ﻮﺍﺬﺍ ﻔﺴﺪﺖ ﻔﺴﺪﺍﻠﺠﺴﺪ ﻜﻠﻪ ﺍﻻٰ ﻮﻫﻰﺍﻠﻘﻠﺐ

“Bahwa didalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika daging itu baik, maka baik seluruh tubuhnya, jika rusak daging itu akan rusaklah tubuh, itulah hati atau qolb”.

Rasulullah menerangkan bahwa kerusakan hati, baik dalam pengertian biologis (somatis) maupun hati dalam arti psychis membawa kerusakan secara menyeluruh. Kerusakan dalam diri manusia baik kerusakan badaniyah maupun kerusakan kejiwaan merupakan sumber suatu penyakit, baik penyakit somatis maupun psychis.
Secara  somatis fungsi hati adalah untuk menyeimbangkan darah merah dan darah putih, jika darah putih lebih sedikit, dan kita terluka maka akan lama sembuhnya (karena darah putih untuk menutup luka). Sebaliknya, Jika sel darah merah lebih sedikit dan sel darah putih lebih banyak yang terjadi adalah kangker darah. Kemudian Hati juga berfungsi untuk koordinasi dengan jantung, darah yang mengalir dari seluruh tubuh sebelum menuju jantung harus melewati Hati, karena hati berfungsi sebagai filter darah yang akan masuk ke jantung. Jika hati rusak maka jantungpun akan rusak.
Meminjam teori  kausalitas, Segala sesuatu memiliki sebab akibat, terjadinya Kerusakan hati pasti ada sesuatu yang menyebabkan hati itu rusak atau sakit, betul?.
Kenapa orang Arap, ups.. Arab, menamakan hati itu dengan kata “Qolb”, secara lughowi qolb asal kata dari “qollaba” berarti berbalik.  Jadi suasana atau keadaan hati seseorang itu sangat berpotensi untuk berubah karena pengaruh dari gejala-gejala yang timbul setiap saat. Bagi yang memiliki “penyakit hati”, gejala-gajala yang timbul itu akan menjadi beban yang sangat berat karena ketidaksiapan dalam menerima gejala tersebut
Rusaknya hati dalam arti psikis terjadi karena seseorang mengalami kondisi kejiwaan yang tidak stabil.  Jika terjadi kondisi seperti ini, berarti hati telah terganggu yang menimbulkan sikap, sifat, dan kepribadian yang tidak wajar dan aneh. Nah, ketidak stabilan ini memicu berkurangnya kualitas keimanan seseorang Gan. Ini terjadi karena adanya motif terhadap beban berat yang dihadapi. Dalam psikologi, motif merupakan penggerak, keinginan, alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Semua tingkah laku manusia pada hakekatnya mempunyai motif. Dengan kata lain, motif adalah energi dasar yang terdapat dalam diri individu dan menentukan perilaku.
ketika motif ini muncul di saat kualitas keimanan seseorang berkurang, maka perilaku yang muncul adalah perilaku yang tidak sesuai dengan prinsip keimanan yaitu prinsip syahadat, bahkan berpotensi mengarah pada perilaku yang tidak sehat, ia akan mengabaikan perintah Allah dan Rasulnya, bahkan menjauhkan diri semakin jauh dari nilai Agama. Maaf gan penulis sedikit religius, kaya ustadz kondangan di TV, hehe..
ngomongin TV jadi teringat pada acara “on the spot” trans7, ada beberapa negara yang tingkat bunuh diri warganya paling tinggi, negara-negara tersebut rata-rata berada dinegara pecahan bekas Unisoviet. Karena tingkat bunuh dirinya sangat tinggi maka beberapa ahli melakukan penelitian terhadap beberapa kasus.  apa sebenarnya penyebab dari perilaku tersebut?  Ternyata eh ternyata.. ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya bukan karena status sosial, bukan faktor ekonomi, dan bukan karena konflik interpersonal /memiliki hubungan yang tidak baik dengan orang terdekat atau orang-orang disekitarnya. Secara ekonomi ia tercukupi, semua kebutuhan dan fasilitas hidupnya dapat terpenuhi, tidak harus memikirkan besok bisa makan atau tidak. Tetapi yang menyebabkan ia melakukan bunuh diri adalah kehidupan yang monoton, aktifitas hidupnya seperti itu itu saja.
Disini kita bisa lihat dari semua kebutuhan yang ia penuhi ada satu kebutuhan yang terabaikan, ia tidak menyadari itu, padahal ia membutuhkannya , yaitu kebutuhan spiritual. Kita tahu Unisoviet itu pemerintahannya menganut komunisme, sehingga penduduknya dituntut untuk memiliki faham atheis, Tuhan mereka buang jauh-jauh dari pikiran, mereka kufur terhadap fitrah nya, padahal disisi lain tanpa ia sadari mereka butuh tuhan untuk membimbing jiwanya.
Jadi gan, pentingnya banyak-banyak membaca syahadat adalah disamping untuk menjaga kualitas keimanan kita juga sebagai tazkiyatunnafs (penyucian diri), agar terhindar dari kemungkinan timbulnya stress yang berlebihan
Allah swt. Berfirman; “sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya” (Q.S. As-syams : 9)
Bagaimana mensucikan jiwa ini? jadikan dua kalimat syahadat sebagai psikoterapi dalam proses terapi diri, tentu tidak hanya membaca saja, kalau hanya sekedar membaca anak kecilpun bisa ya toh,, jelas dengan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi kalau setiap muslim mampu mengamalkan syahadat tidak ada orang muslim yang stress.
Firman Allah swt. dalam al-Qur’an:
Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh (kalimat syahadat) itu di dalam kehidupan dunia
Perlu diketahui bahwa, seluruh perintah Allah swt. yang tertuang dalam al-qur’an itu bersifat psikoterapi dan seluruh larangan-Nya bersifat psikopatik (hal-hal yang berhubungan dengan penyakit kejiwaan). Hal ini disinyalir dalam al qur’an:
 “Hai manusia, Sesungguhnya Telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (Q.S. Yunus:57).
 “Dan kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” (Q.S., al Isra’ : 82).
 “Katakanlah: "Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin”. (Q.S., Fussilat : 44)
Allah pun berfirman: “Al Quran Ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.
__________________________________________________________

I’tidzar:
*Tulisan ini sebagai muhasabah dan refleksi diri penulis yang tidak luput dari dosa dan kesalahan. Semoga bermanfaat bagi yang membacanya, Wallahu a’lam bisshoab.
Wassalam..

RASISME IKLAN KECANTIKAN

Oleh: Malakasinu
Bebuka
Pada dasarnya bias iklan terjadi karena media tidak berada diruang vakum. Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang komplek dan beragam.
Louis althusser (1971, dalam Al- Zastrouw, 2000) menulis bahwa media, dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena anggapan akan kemampuannya sebagai sarana legitimasi. Media sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, seni, dan kebudayaan, merupakan bagian dari alat kekuasaan Negara yang bekerja secara ideologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa.
Akan tetapi, pandangan Althusser tentang media ini dianggap Antonio Gramsci (1971, dalam Al- Zastrouw, 2000) mengabaikan resistensi ideologis dari kelas tersubordinasi dalam ruang media. Bagi Gramsci, media merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi.
Antonio Gramsci melihat media sebagai ruang dimana berbagai ideologi direpresentasikan. Ini berarti, disatu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan control atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.
Walaupun terjadi keritik antara Althusser dan Gramsci, namun kedua pemikir itu sama-sama sepakat bahwa media bukan sesuatu yang bebas, independen, tetapi memiliki keterkaitan dengan realitas sosial. Jelasnya, ada berbagai kepentingan yang bermain dalam media.
Disamping kepentingan ideologi antara masyarakat dan Negara, dalam media juga terselubung kepentingan yang lain, misalnya kepentingan kapitalisme pemilik modal, kepentingan keberlangsungan lapangan kerja bagi para karyawan dan sebagainya. Dalam kondisi dan posisi seperti ini, media tidak mungkin berdiri statis di tengah-tengah, dia akan bergerak dinamis diantara pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. Kenyataan inilah yang menjadikan bias informasi dimedia adalah sesuatu yang sulit dihindari.
Oleh sementara orang, media acap kali disebut sebagai the fourth estate (kekuatan keempat) dalam kehidupan sosial-ekonomi politik. Hal ini terutama disebabkan oleh suatu persepsi tentang peran yang dapat dimainkan oleh media dalam kaitannya dengan pengembangan kehidupan sosial-ekonomi dan poitik masyarakat.
Sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian, atau gambaran umum terntang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik, antara lain, karena media juga dapat berkembang menjadi penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam kehidupan yang empiris.
Sehubungan dengan hal tersebut, sebenarnya media berada pada posisi yang mendua, dalam pengertian bahwa ia dapat memberikan pengaruh-pengaruh positif maupun negatif. Tentu saja, atribut-atribut normatif ini bersifat sangat relatif, bergantung pada dimensi kepentingan yang diwakili.
Berdasarkan kemungkinan yang dapat diperankan kita itu, media (media massa) merupakan sebuah kekuatan raksasa yang sangat diperhitungkan. Dalam berbagai analisis tentang kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, media sering ditempatkan sebagai sebagai salah satu variabel determinan. Bahkan media, terlebih dalam posisinya sebagai saluran informasi, dapat pula dipandang sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses-proses perubahan sosial-budaya dan politik.
Salah satu dari media yang paling efektif adalah televisi. Ketika kita menonton televisi kerap kali kita disuguhi berbagai macam iklan disamping acara-acara utama lainnya. Dari banyaknya iklan di televisi ini, tak jarang pula ada iklan yang nampak biasa-biasa saja. Namun apabila kita kaji dan perhatikan lebih mendalam, di sana kita dapat menemukan berbagai pesan yang terbungkus atau tersembunyi (sebut saja ideologi), baik itu memang disengaja dibuat demikian (“dibalut”) atau memang unsur ketidaksengajaan yang muncul sebagai efek.
Yang paling menarik di antara iklan-iklan tersebut salah satunya adalah iklan kecantikan. Baik itu iklan sabun, sampo, pemutih atau lainnya yang berhubungan dengan kecantikan dan wanita. Sebab dalam iklan-iklan tersebut kadang ada yang dengan jelas menyebutkan “sesuatu” yang biasanya tersembunyi.
Memang pesan dalam iklan tersebut tujuan awalnya adalah agar konsumen tertarik membeli dan mengkonsumsinya, namun kini menjadi lain ketika dalam iklan itu dibubuhi kalimat atau komentar yang menyertai iklan itu misalnya ungkapan: “temukan kecantikan sejati”. Dan bisa jadi yang demikian itu karena ditumpangi suatu kepentingan (ideologi) tertentu.
Apa Sih kang Dadi Masalahe?
Mengacu pada latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan adalah iklan kecantikan semisal sabun mandi, pemutih wajah dan lainnya serta efek yang muncul (pemaknaan) dari iklan tadi, yang mungkin di sadari atau tidak dapat menggiring opini masyarakat terhadap sesuatu. Misalnya opini atau konsep kecantikan. Oleh karena itu, kajian ini berusaha menelusuri “sesuatu” yang terselubung di dalam iklan kecantikan, selain fungsinya sebagai ajang promosi suatu produk.
Patokan Teori [istilah Jare mahasiswae kukuh, sambir diarani ilmiah]
Metode yang penulis gunakan pada intinya adalah semacam metode analisis isi-interpretatif yang bersandar pada teori semiotik. Hingga dapat dikatakan ini adalah metode semiosis. Di mana dalam metode ini langkah yang ditempuh adalah mengurai aspek-aspek tanda dan menganalisis relasi dari masing-masing aspek tersebut, yang dari relasi itu dapat memunculkan makna tertentu, bahkan maknanya dapat berlapis.
Dasar Pemikiran [itung-itung teori kang dadi sandaran, jeh]
Semiotik sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai system yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda’. Dengan demikian semiotik mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Umberto Eco menyebut tanda sebagai “kebohongan”; dalam tanda ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya dan bukan merupakan tanda itu sendiri. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas, dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial.
Itu pula yang memunculkan pendapat Paul Watson, salah seorang pendiri Greenpeace, tentang prilaku media massa. Menurutnya konsep kebenaran yang dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Kebenaran ditentukan media massa.
Jika sinyalemen ini benar, dapat kita bayangkan betapa beratnya tugas pembaca berita atau penonton televisi dalam menyikapi dan “membaca’ acara, atau iklan yang sudah menjadi santapan sehari-hari. Penerima informasi dituntut memiliki kemampuan memadai untuk menyaring sebuah informasi baik apakah itu berupa berita, filem, iklan atau lainnya.
Karena itu, salah satu cara untuk membantu kita memnyikapi informasi-informasi tersebut adalah konteks informasi itu. Lewat konteks informasi, kita dapat memahami masalah yang ada. Lewat konteks ini kita dapat menyadari atau “ngeh” bahwa dalam informasi tersebut, disamping dihidangkan “madu, juga mengandung hidangan “racun”. Melalui konteks ini kita dapat mengerti bahwa sesuatu yang buruk bisa dibungkus dengan bahasa yang manis sehingga tampak samara-samar dan menyenangkan.
Isi media pada hakikatnya adalah hasil kontruksi realitas dengan tanda sebagai perangkat dasarnya. Ia bukan saja dapat menjadi alat merepresentasikan realitas, namun juga dapat menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh tanda tentang realitas tersebut. Sehingga mempunyai peluang besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruknya.
Karena itu, dalam banyak kasus, kita temukan berbagai kepentingan yang memiliki kekuasaan mengendalikan makna di tengah-tengah pergaulan sosial melalui media. Dalam media tanda tidak lagi semata alat untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa menentukan gambaran atau citra yang akan muncul di benak masyarakat.
Lalu bagaimana kita supaya tidak terjebak oleh berbagai informasi, agar kita tidak tersesat? Salah satu jawaban yang tepat adalah kita mesti hati-hati dan waspada serta pandai membaca ‘tanda’ apapun yang kita terima, lebih-lebih berupa informasi yang datangnya dari media, baik itu elektronik atau lainnya.
Berbagai ‘cara baca’ pun telah disuguhkan oleh para pakar, mulai dari analisis framing, labelling, analisis wacana dan lain sebagainya, semuanya diperuntukkan untuk ‘membaca’ media. Karena, sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa media menjadi suatu ajang ‘pertarungan’ dari berbagai kepentingan.
Sebagai model pendekatan, semiotika memiliki wilayah cakupan yang luas meliputi berbagai bidang keilmuan, keagamaan, estetika, dan budaya. Ke empat wilayah ini memiliki korelasi dan ciri khas masing-masing. Pada bidang budaya, korelasi antara tanda-tanda adalah dengan nilai-nilai sosial yang ada pada lingkungan masyarakat tertentu, bahkan idiologi.
Secara teoritik, semiotika berusaha untuk dapat memjelaskan semua permasalahan fungsi tanda, bahkan mempertimbangkan teori kode dan teori produksi tanda. Beranjak dari sini, pada dasarnya semiotika berhubungan dengan segala hal yang dapat dianggap sebagai tanda. Tanda adalah sesuatu yang dapat dianggap sebagai pengganti sesuatu yang lain secara signifikan. Sesuatu yang lain itu tidak harus ada benar-benar ada di suatu tempat pada saat tanda menggantikannya.
Sebab itulah, Eco mengajukan teori dusta sebagai dasar kajian semiotik umum yang komprehensif, karena pada prinsipnya semiotika adalah disiplin ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendustai, mengelabui, atau mengecoh.
Dari beberapa tokoh semiotik yang ada, pada intinya membahas masalah tanda dan bagaimana kita “membaca” tanda tersebut. Roland Barthes, salah seorang tokoh semiologi, terkenal dengan semiotika konotasinya. Dalam teori ini, para ahli semiotika tidak berpegang pada makna primer (denotasi) tanda yang disampaikan, melainkan berusaha mendapatkan makna sekunder (konotasi) yang juga dipunyai tanda itu.
Roland Barthes membagi tingkat pertandaan menjadi dua, yaitu tingkat pertandaan denotatif dan tingkat pertandaan konotatif. Denotasi merupakan tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak.
Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, terbuka terhadap berbagai kemungkinan. Memunculkan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek.
Dalam semiologi, makna denotasi dan konotasi memegang peranan sangat penting. Makna denotasi bersifat langsung yaitu makna yang khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, gambaran sebuah petanda. (Arthur Asa Berger, 2000:55) Misalnya buku, maka makna denotasi yang terkandung adalah “sebuah buku yang terbuat dari kertas, berisi tulisan, dengan penyusunan tertentu dan seterusnya. Sedangkan makna konotatif akan dihubungkan dengan konteks yang tersirat dalam pembungkusnya.
            Konteks ini merupakan sesuatu yang diluar teks yang dapat ‘menentukan’ makna tertentu. dengan adanya atau melihat konteks tersebut kita dapat lebih memahami, atau setidaknya mendekati makna yang cocok atau benar. Sebab tanda dapat diproduksi dan sekaligus memproduksi tanda. Demikianlah sehingga memunculkan apa yang disebut rantai semiosis.
Ana Apa ning sewalike Iklan Kecantikan?
            Nampak seorang gadis berwajah putih, orang-orang di sekelilingnya menatap penuh kekaguman. Dan di akhir iklan terdengan suara “Seputih kilau mutiara”. Pada iklan yang lain, masih tema kecantikan, seorang gadis sedang membalurkan pemutih wajah, seketika wajahnya menjadi putih bersinar dengan diiringi kalimat “temukan kecantikan sejati”.
            Bila hanya di lihat sekilas, semua orang tahu bahwa itu hanyalah iklan. Untuk menarik para konsumen, maka iklan dibuat sedemikian rupa agar masyarakat tertarik membeli produk yang ditawarkannya. Bahkan banyak di antara peroduk, melalui iklannya seolah hanya produknyalah yang paling jempolan.
            Dari iklan-iklan yang ada, seperti di atas, pada awalnya ingin memberikan dorongan agar masyarakat membeli formula tersebut yang berguna untuk merawat kulit, akan tetapi dari iklan yang tampil seolah (bahkan) menggiring masyarakat kepada opini bahwa formula itu bukan sekedar perawatan bahkan lebih dari itu, yaitu sesuatu yang dapat memberikan “perubahan”. Kulit kusam dan hitam akan berubah menjadi putih berseri.
            Jika diperhatikan lebih jauh, ternyata hampir di setiap iklan kecantikan, entah itu sabun mandi, pemutih wajah atau lainnya semuanya mengarahkan kepada pengertian bahwa kecantikan seseorang ditentukan oleh putihnya wajah. Jika demikian adanya, lalu bagaimana nasib orang yang tidak putih kulitnya?
            Kecantikan bukan dilihat dari segi fisik saja, misalnya wajah putih. Memang kecantikan tidak dapat ditentukan secara pasti [sifatnya subjektif], akan tetapi setidaknya ada standar atau batas-batas yang setiap orang mengakui bahwa itu cantik atau indah. Dari segi fisik, kemungkinan besar, menurut hemat saya kecantikan bukan ditentukan dari putih atau kuningnya wajah seseorang, tetapi dari harmoni yang tercipta dalam sekujur tubuh seseorang.
Misalnya wajah [pusat perhatian], ia akan terlihat cantik karena di situ ada harmoni, yaitu relasi yang berhubungan secara seimbang. Bentuk hidung, bibir, mata, alis, dagu, mulut, dan bentuk wajah masing-masing berelasi satu sama lain secara harmoni atau relasi yang cocok. Dapat dibayangkan jika bibirnya, katakan saja terseksi di dunia namun hidungnya panjang seperti hidung dawala.
            Selain itu, kecantikan juga bukan hanya dari fisik yang ditampilkan. Prilaku dan sikap seseorang juga berperan menentukan kecantikan. Singkatnya cantik itu indah dalam lahir dan batin.
            Dalam iklan-iklan tadi, secara tak sadar telah melakukan perubahan atau pergeseran pemaknaan. Putih menjadi penanda bagi kecantikan. Menggeser  konsep kecantikan yang luas hanya pada putihnya kulit wajah. Bahwa yang cantik adalah orang yang berkulit putih. Jika seseorang [gadis] ingin cantik, maka ia mesti menggantikan kulitnya dengan warna putih. Ini dapat dilihat jelas dari iklan tersebut yang mengidentikkan kecantikan dengan putihnya wajah (baca:kulit).
            Dari pergeseran tersebut dapat timbul pemaknaan baru yang tersimpan dari iklan tersebut, yaitu orang yang tidak putih wajahnya tidak akan pernah cantik, bahkan lebih parah lagi, bahwa orang yang berkulit putih lebih diperhatikan dan dihargai.
Masih banyak lagi makna-makna baru yang dihasilkan, misalnya orang putih itu mempesona, menarik, dan indah. Sementara orang yang berkulit hitam, coklat, atau lainnya adalah orang yang tidak menarik, tidak mempesona, dan stigma-stigma negatif lainya. Singkatnya orang berkulit putih lebih unggul dari yang tidak berkulit putih. Iklan ini menggiring masyarakat menilai seseorang dari warna kulitnya [rasisme]. Jelas ini menyesatkan!
            Bahkan jika ditelusuri lebih jauh, maka yang dihasilkan akan semakin berlapis dan berkembang. Bila kita kaitkan dengan warna kulit putih, maka di muka bumi ini penduduk benua Eropa-lah (Barat) yang diuntungkan sebab merekalah yang memiliki warna kulit putih. Dengan kata lain, jika anda ingin dihargai, mempesona, cantik dan lain-lain yang serba menarik, maka jadilah seperti orang Eropa tersebut.
            Dari perkembangan makna ini kita “memperoleh’ makna yang lebih ‘menyeramkan’ yaitu bahwa dari iklan itu kita (terutama Indonesia umumnya berkulit sawo matang atau hitam manis) disisihkan (diskriminasi), diposisikan sebagai inferior dan mereka (Eropa) sebagai superior. Maka tatkala terjadi relasi superior-inferior, hubungan ini memunculkan relasi subjek-objek, di mana kita posisinya adalah sebagai objek.
            Dan saat hubungan seperti itulah, yakni tiada adanya kesejajaran, pengakuan satu sama lain/penghargaan, maka muncullah dari satu pihak yang menjadikan dirinya sebagai subjek menguasai dan mengendalikan pihak lain yang diposisikan sebagi objek oleh mereka. Pada awalnya sederhana, namun akhirnya memunculkan rasisme kemudian hegemoni dan penjajahan. Dan yang terjadi adalah bukan penjajahan secara fisik (dalam arti perang senjata) melainkan mental kita telah disetir, dikendalikan oleh opini yang diciptakan. Dan memang itu kesan yang kadang memang disengaja untuk dimunculkan, hanya saja kita tidak menyadarinya.
            Kita dapat melihat kenyataan ini, sebagai contoh dan yang paling mudah ditemui adalah apa yang tergambar dalam gaya hidup. Banyak di antara generasi kita yang lebih memilih berkiblat kepada barat, mulai dari cara berpakaian hingga tetek bengek. Mungkin ini adalah salah satu dari akibat tidak memiliki kemampuan untuk menyaring dan “membaca” setiap informasi yang datang kepada kita.
Kesimpulan
            Dari uraian singkat dan sederhana di atas, kiranya kita dapat menemukan bahwa ternyata suatu informasi dapat memiliki peluang, di samping ia menjalankan sesuai tujuan kadang juga diboncengi “sesuatu” yang terbungkus di dalamnya. Ada manis dan pahitnya.
            Dalam iklan kecantikan, kita dapat membaca bahwa selain memiliki fungsi sebagai media promosi, ia juga dapat memberikan dan memnggiring opini, bahkan mencetak makna sesuai dengan kepentingan atau ideologi tertentu.
 
Referensi:
Berger, Arthur Asa. 2000. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana
Cobley, Paul & Litza Jansz.2002. Mengenal Semiotika; For Beginners, peny. Ciptadi Sukono,   Bandung: Mizan
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes, Magelang: Indonesiatera
Piliang, Yasraf Amir . 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural studies atas Matinya Makna, Bandung: Jalasutra
Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media; Suatu pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis           Framing, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
Sunardi, ST, Semiotika negativa, Yogyakarta: Kanal
Tillich, Paul.  2002. Teologi Kebudayaan: tendensi aplikasi dan komparasi, alih bahasa: Miming Muhaimin, IRCiSOD, Yogyakarta

 

Copyright @ 2013 Komunitas Baca Mata Hati.

Designed by Templateism | MyBloggerLab | Distributed by Rocking Templates