Oleh: Malakasinu
Jika, kalau, atau seandainya moderen itu pengertiannya
hanya merujuk kepada wujud fisik dan kemajuan teknologi yang dicapai dari suatu
peradaban. Atau jika moderen itu biasa dikaitkan dengan semakin gemerlapnya
dunia yang sudah tua ini. Dunia yang semakin keropos dan dipenuhi luka-luka
akibat ulah tangan manusia yang katanya berperadaban maju.
Anggap saja moderen seperti itu. Manusia semakin berlaku aneh.
Hal-hal yang sebelumnya tidak pernah dikenal atau ada kemudian menjadi ada.
Gedung-gedung semakin rapat, hamparan sawah menjadi ladang beton, langit biru
semakin pucat, dan masih banyak lagi akibat yang ditimbulkan si “moderen”
tersebut.
Kita lupakan sejenak hal-hal yang membuat kita miris.
Kini kita beralih pada moderen yang
“seksi”. Bumi yang konon sudah tua dan rapuh ini. Pada kenyataannya, semakin
bertambah umur semakin seperti seorang gadis ranum. Seorang belia yang berumur
belasan tahun. Yang sedang menebarkan pesonanya dan merajuk siapa saja,
sehingga membuat tenggelam bagi siapa yang jatuh ke dalam pelukannya.
Bukankah kita cenderung lebih menyukai hal yang menarik,
membangkitkan gairah atau selera. Dunia ini memang indah. Isinya pun indah.
Segala kesenangan dapat di peroleh. Di dunia ini, kita pun dapat
bersenang-senang, meskipun bergelimang masalah. Bukankah saat bersenang-senang
juga adalah masalah. Misalnya kita bermain bola di jalan raya, bukankah itu
masalah? Dan tentu itu juga menjadi masalah bagi kita sendiri [disemprot alias
dimarahi orang lain, atau diserempet motor misalnya]. Tapi ada slogan yang
menarik dari salah satu Perum milik pemerintah yang berbunyi “Mengatasi masalah
tanpa masalah”. Seandainya itu benar, kita gadaikan saja hidup kita ke Perum
tersebut. Sayangnya belum terbukti.
Anggap saja zaman sekarang adalah era moderen. Yaitu era
dimana segala kepuasan, kebebasan, dan kemajuan manusia terus berkembang
seperti tidak mengenal batas. Di mana segala bidang mengalami perkembangan yang
menakjubkan. Terutama dalam bidang sains dan teknologi. Tidak ketinggalan pula prilaku
moderen para penghuninya.
Mungkin kita dapat menyaksikan salah satu atau beberapa
ciri-ciri kemajuan itu, misalnya, dari sisi gaya berpakaian. Ada kaum perempuan dalam hal berbusana
semakin maju dadanya [memang seperti itu], dikarenakan pakaian yang ia kenakan
begitu ketat sehingga entah terpaksa atau sengaja membuat bagian “itu” nya semakin menonjol. Atau celana yang
dikenakan menampilkan wilayah segitiga berbentuk sesuai aslinya. Bedanya adalah
ia terbalut pakaian. Ada
pula yang berbusana namun seolah ia kekurangan bahan, atau belum selesai
dijahit. Sehingga menyisakan sebersit warna putih dibalik sobekan [celah]. Dan
hal yang demikian itu, kita pun maklum namanya juga moderen. Bahkan ada yang
berpakaian namun bagian “semangka”-nya seakan-akan hendak meloncat dan menerkam
setiap lelaki yang memandangnya.
Di era moderen ini, gaya kehidupan pun semakin asyik. Orang dapat
melakukan apapun yang ia kehendakinya. Segala macam bentuk hiburan dan
kenikmatan disediakan untuk melepaskan kehausan para manusia moderen. Semua hal
kian menarik dan menggairahkan sebagaimana era moderen yang semakin seksi dan
tak segan–segan tampil erotis. Tak dapat dipungkiri, kita begitu terpikat akan
kehidupan moderen ini.
Di era moderen ini, segala yang menghambat pemuasan nafsu
dianggap sebagai penghalang kemajuan. Hal yang digembor-gemborkan biasanya
adalah kebebasan berekpresi, isu HAM dan hal-hal yang lebih memberikan keleluasaan bagi berkembangnya
kemaksiatan. Anda dapat menyaksikan media masa, baik elektronik maupun cetak
semua menawarkan dan dipenuhi kenikmatan semu. Majalah, tabloid hingga koran
dipenuhi gambar-gambar yang dapat mengundang “gerimis”. Sekalipun bagi bocah
yang masih bau kencur.
Melihat hal seperti di atas, kita menjadi bingung dalam
mengartikan moderen yang sebenarnya. Saya pun masih belum mengerti betul
[hingga sekarang] apa itu moderen. Sekaligus merasa prihatin. Pernah ku mencoba
bertanya kepada banyak orang untuk mencari maksud dari moderen. Namun semua
jawaban hampir tidak jauh berbeda. Ada
yang mengatakan moderen itu luas pengertiannya. Dan tak jarang pula yang
menunjukkan pengertian moderen kepada hal-hal yang seperti telah disinggung di
atas.
Sebagai selingan [terserah dianggap iklan juga].
Sekarang sedikit mendongeng. Ada
salah seorang dari desa, sebut saja, mang Midun. Ia adalah penduduk kampung
yang masih jauh dari bisingnya kehidupan yang katanya moderen. Namun demikian
mang Midun dapat merasakan adanya perbedaan antara waktu semasa ia masih muda
[kini ia berumur 70 tahun], dengan masa sekarang. Kampungnya termasuk kategori
daerah tertinggal, jalan pun belum beraspal. Jalan hanya dipenuhi Lumpur jika
musim penghujan datang dan bila kemarau tiba maka batu-batu sebesar kepala akan
nampak menyeringai. Yang membuat ia merasakan perubahan adalah dari gaya hidup para
penduduknya, terutama generasi muda. Setiap menanyakan apa yang terjadi, ia
hanya mendengar selentingan karena sekarang adalah era moderen.
Dulu semasa muda, ia tidak pernah mendapati pemuda yang
ditindik telinga atau hidung. Kini hal tersebut mudah saja menjumpai para
pemuda seperti itu. Dulu tak ada perempuan yang tampil nyentrik. Sekarang
suasana telah berubah. Penampilan para anak gadis desa membuat mang Midun lupa
ia sudah berumur mendekati satu abad. Dan itu berarti semakin mendekati kontrak
yang telah ditentukan. Mang Midun hanya termangu jika menyadari umurnya itu.
Begitulah umur, layaknya jarum menit pada jam. Jika diperhatikan sepertinya ia
tidak pernah berpindah. Namun jika kita melalaikannya, tiba-tiba saja sudah
berpindah.
Mang Midun
berpikir. setidaknya ia mengenal tentang ekonomi, meski tidak banyak. Sebab
selama hidupnya ia berprofesi sebagai tukang Siomay. Tentunya sesuatu yang
banyak diproduksi adalah sesuai dengan permintaan pasar, itu menurut teori
ekonomi. Tetapi pada kenyataanya menunjukkan hal yang berbeda. Toh, industri
yang begituan semakin berkembang pesat.
Dalam kehidupan sehari-haripun ia dapat menyaksikan bagaimana para
gadis yang berpakaian. Banyak di antara yang berjilbab, namun dari sisi pakaian
lebih pantas mereka melepaskan saja kerudungnya itu. Pikir mang Midun. Namun
kini hal tersebut menjadi lumrah dan merupakan pemandangan biasa.
Hal seperti itu tidak hanya terdapat di kota. Bahkan di tempat mang Midun sendiri,
yang merupakan desa terpencil. Jalan hanya dipenuhi batu sebesar kepala kerbau
yang bertonjolan. Namun keadaan masyarakatnya sudah tidak jauh berbeda
keadaannya dengan kota.
Tidak sedikit para pemudanya yang sudah bertingkah aneh. Ada yang ditindik hidungnya, telinganya,
bahkan ada pula bibirnya. Begitu pula para gadisnya dalam hal berpakaian.
Katanya sih mengikuti perkembangan zaman.
Yang menjadi bahan
pikiran mang Midun sekarang, ia masih dipusingkan oleh istilah moderen. Ia
sering mendapatkan kata-kata tersebut saat ia menanyakan kepada beberapa pemuda
dan pemudi. Suatu saat ia bertanya pada salah satu pemuda yang ditindik
hidungnya dan bertato lengannya. Maksud kamu apa sih berpenampilan seperti itu?
Pemuda tersebut menjawab dengan antusias, “moderen mang”. Begitu pula tak
sedikit jawaban yang diungkapkan oleh para gadis yang berpakaian Ehm …, jawabannya
tak jauh berbeda. Katanya modis dan moderen, mengikuti perkembangan zaman.
Segala macam prilaku aneh lainnya yang sebelumnya tidak pernah ada dan terjadi,
mereka semua menjawab moderen.
Ada seorang gadis yang berkerudung, namun
kaos yang ia kenakan menyisakan pusarnya untuk dinikmati oleh siapa saja yang
melihatnya. Ketika ditanya, kenapa ia memakai jilbab. Ia langsung menjawab
spontan hal itu dilakukan untuk menutup aurat, ucapnya, sebab bagi perempuan
[kata dia] adalah aurat yang mesti ditutupinya (sok teologis bangeet). Waw
.mang Midun hanya bisa terpaku mendapat jawaban seperti itu, sesekali matanya
menyantap pemandangan dan ia iseng bertanya, kalau yang itu? [sambil menunjuk
ke arah pusar] Gadis itu berujar, “ah mamang, mamang kan sudah tua! Mang Midun pun tak kalah
gesit, “boleh dong yang tua pun ikut moderen”, balasnya. “Itu sih bukan moderen
mang”, timpal gadis itu lagi. “lho kan
neng bilang tadi moderen”.
0 komentar:
Posting Komentar