Selasa, 29 April 2014

MODEREN YANG BIKIN MODAR

Oleh: Malakasinu
Jika, kalau, atau seandainya moderen itu pengertiannya hanya merujuk kepada wujud fisik dan kemajuan teknologi yang dicapai dari suatu peradaban. Atau jika moderen itu biasa dikaitkan dengan semakin gemerlapnya dunia yang sudah tua ini. Dunia yang semakin keropos dan dipenuhi luka-luka akibat ulah tangan manusia yang katanya berperadaban maju.
Anggap saja moderen seperti itu. Manusia semakin berlaku aneh. Hal-hal yang sebelumnya tidak pernah dikenal atau ada kemudian menjadi ada. Gedung-gedung semakin rapat, hamparan sawah menjadi ladang beton, langit biru semakin pucat, dan masih banyak lagi akibat yang ditimbulkan si “moderen” tersebut.
Kita lupakan sejenak hal-hal yang membuat kita miris. Kini kita beralih  pada moderen yang “seksi”. Bumi yang konon sudah tua dan rapuh ini. Pada kenyataannya, semakin bertambah umur semakin seperti seorang gadis ranum. Seorang belia yang berumur belasan tahun. Yang sedang menebarkan pesonanya dan merajuk siapa saja, sehingga membuat tenggelam bagi siapa yang jatuh ke dalam pelukannya.
Bukankah kita cenderung lebih menyukai hal yang menarik, membangkitkan gairah atau selera. Dunia ini memang indah. Isinya pun indah. Segala kesenangan dapat di peroleh. Di dunia ini, kita pun dapat bersenang-senang, meskipun bergelimang masalah. Bukankah saat bersenang-senang juga adalah masalah. Misalnya kita bermain bola di jalan raya, bukankah itu masalah? Dan tentu itu juga menjadi masalah bagi kita sendiri [disemprot alias dimarahi orang lain, atau diserempet motor misalnya]. Tapi ada slogan yang menarik dari salah satu Perum milik pemerintah yang berbunyi “Mengatasi masalah tanpa masalah”. Seandainya itu benar, kita gadaikan saja hidup kita ke Perum tersebut. Sayangnya belum terbukti.
Anggap saja zaman sekarang adalah era moderen. Yaitu era dimana segala kepuasan, kebebasan, dan kemajuan manusia terus berkembang seperti tidak mengenal batas. Di mana segala bidang mengalami perkembangan yang menakjubkan. Terutama dalam bidang sains dan teknologi. Tidak ketinggalan pula prilaku moderen para penghuninya.
Mungkin kita dapat menyaksikan salah satu atau beberapa ciri-ciri kemajuan itu, misalnya, dari sisi gaya berpakaian. Ada kaum perempuan dalam hal berbusana semakin maju dadanya [memang seperti itu], dikarenakan pakaian yang ia kenakan begitu ketat sehingga entah terpaksa atau sengaja membuat bagian  “itu” nya semakin menonjol. Atau celana yang dikenakan menampilkan wilayah segitiga berbentuk sesuai aslinya. Bedanya adalah ia terbalut pakaian. Ada pula yang berbusana namun seolah ia kekurangan bahan, atau belum selesai dijahit. Sehingga menyisakan sebersit warna putih dibalik sobekan [celah]. Dan hal yang demikian itu, kita pun maklum namanya juga moderen. Bahkan ada yang berpakaian namun bagian “semangka”-nya seakan-akan hendak meloncat dan menerkam setiap lelaki yang memandangnya.
Di era moderen ini, gaya kehidupan pun semakin asyik. Orang dapat melakukan apapun yang ia kehendakinya. Segala macam bentuk hiburan dan kenikmatan disediakan untuk melepaskan kehausan para manusia moderen. Semua hal kian menarik dan menggairahkan sebagaimana era moderen yang semakin seksi dan tak segan–segan tampil erotis. Tak dapat dipungkiri, kita begitu terpikat akan kehidupan moderen ini.
Di era moderen ini, segala yang menghambat pemuasan nafsu dianggap sebagai penghalang kemajuan. Hal yang digembor-gemborkan biasanya adalah kebebasan berekpresi, isu HAM dan hal-hal yang lebih  memberikan keleluasaan bagi berkembangnya kemaksiatan. Anda dapat menyaksikan media masa, baik elektronik maupun cetak semua menawarkan dan dipenuhi kenikmatan semu. Majalah, tabloid hingga koran dipenuhi gambar-gambar yang dapat mengundang “gerimis”. Sekalipun bagi bocah yang masih bau kencur.
Melihat hal seperti di atas, kita menjadi bingung dalam mengartikan moderen yang sebenarnya. Saya pun masih belum mengerti betul [hingga sekarang] apa itu moderen. Sekaligus merasa prihatin. Pernah ku mencoba bertanya kepada banyak orang untuk mencari maksud dari moderen. Namun semua jawaban hampir tidak jauh berbeda. Ada yang mengatakan moderen itu luas pengertiannya. Dan tak jarang pula yang menunjukkan pengertian moderen kepada hal-hal yang seperti telah disinggung di atas.
Sebagai selingan [terserah dianggap iklan juga]. Sekarang sedikit mendongeng. Ada salah seorang dari desa, sebut saja, mang Midun. Ia adalah penduduk kampung yang masih jauh dari bisingnya kehidupan yang katanya moderen. Namun demikian mang Midun dapat merasakan adanya perbedaan antara waktu semasa ia masih muda [kini ia berumur 70 tahun], dengan masa sekarang. Kampungnya termasuk kategori daerah tertinggal, jalan pun belum beraspal. Jalan hanya dipenuhi Lumpur jika musim penghujan datang dan bila kemarau tiba maka batu-batu sebesar kepala akan nampak menyeringai. Yang membuat ia merasakan perubahan adalah dari gaya hidup para penduduknya, terutama generasi muda. Setiap menanyakan apa yang terjadi, ia hanya mendengar selentingan karena sekarang adalah era moderen.
Dulu semasa muda, ia tidak pernah mendapati pemuda yang ditindik telinga atau hidung. Kini hal tersebut mudah saja menjumpai para pemuda seperti itu. Dulu tak ada perempuan yang tampil nyentrik. Sekarang suasana telah berubah. Penampilan para anak gadis desa membuat mang Midun lupa ia sudah berumur mendekati satu abad. Dan itu berarti semakin mendekati kontrak yang telah ditentukan. Mang Midun hanya termangu jika menyadari umurnya itu. Begitulah umur, layaknya jarum menit pada jam. Jika diperhatikan sepertinya ia tidak pernah berpindah. Namun jika kita melalaikannya, tiba-tiba saja sudah berpindah.
            Mang Midun berpikir. setidaknya ia mengenal tentang ekonomi, meski tidak banyak. Sebab selama hidupnya ia berprofesi sebagai tukang Siomay. Tentunya sesuatu yang banyak diproduksi adalah sesuai dengan permintaan pasar, itu menurut teori ekonomi. Tetapi pada kenyataanya menunjukkan hal yang berbeda. Toh, industri yang begituan semakin berkembang pesat.
Dalam kehidupan sehari-haripun ia dapat menyaksikan bagaimana para gadis yang berpakaian. Banyak di antara yang berjilbab, namun dari sisi pakaian lebih pantas mereka melepaskan saja kerudungnya itu. Pikir mang Midun. Namun kini hal tersebut menjadi lumrah dan merupakan pemandangan biasa.
Hal seperti itu tidak hanya terdapat di kota. Bahkan di tempat mang Midun sendiri, yang merupakan desa terpencil. Jalan hanya dipenuhi batu sebesar kepala kerbau yang bertonjolan. Namun keadaan masyarakatnya sudah tidak jauh berbeda keadaannya dengan kota. Tidak sedikit para pemudanya yang sudah bertingkah aneh. Ada yang ditindik hidungnya, telinganya, bahkan ada pula bibirnya. Begitu pula para gadisnya dalam hal berpakaian. Katanya sih mengikuti perkembangan zaman.
            Yang menjadi bahan pikiran mang Midun sekarang, ia masih dipusingkan oleh istilah moderen. Ia sering mendapatkan kata-kata tersebut saat ia menanyakan kepada beberapa pemuda dan pemudi. Suatu saat ia bertanya pada salah satu pemuda yang ditindik hidungnya dan bertato lengannya. Maksud kamu apa sih berpenampilan seperti itu? Pemuda tersebut menjawab dengan antusias, “moderen mang”. Begitu pula tak sedikit jawaban yang diungkapkan oleh para gadis yang berpakaian Ehm …, jawabannya tak jauh berbeda. Katanya modis dan moderen, mengikuti perkembangan zaman. Segala macam prilaku aneh lainnya yang sebelumnya tidak pernah ada dan terjadi, mereka semua menjawab moderen.
            Ada seorang gadis yang berkerudung, namun kaos yang ia kenakan menyisakan pusarnya untuk dinikmati oleh siapa saja yang melihatnya. Ketika ditanya, kenapa ia memakai jilbab. Ia langsung menjawab spontan hal itu dilakukan untuk menutup aurat, ucapnya, sebab bagi perempuan [kata dia] adalah aurat yang mesti ditutupinya (sok teologis bangeet). Waw .mang Midun hanya bisa terpaku mendapat jawaban seperti itu, sesekali matanya menyantap pemandangan dan ia iseng bertanya, kalau yang itu? [sambil menunjuk ke arah pusar] Gadis itu berujar, “ah mamang, mamang kan sudah tua! Mang Midun pun tak kalah gesit, “boleh dong yang tua pun ikut moderen”, balasnya. “Itu sih bukan moderen mang”, timpal gadis itu lagi. “lho kan neng bilang tadi moderen”.

Komca

Terima Kasih telah berkunjung dan membaca artikel ini.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright @ 2013 Komunitas Baca Mata Hati.

Designed by Templateism | MyBloggerLab | Distributed by Rocking Templates