Selasa, 29 April 2014

RASISME IKLAN KECANTIKAN

Oleh: Malakasinu
Bebuka
Pada dasarnya bias iklan terjadi karena media tidak berada diruang vakum. Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang komplek dan beragam.
Louis althusser (1971, dalam Al- Zastrouw, 2000) menulis bahwa media, dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena anggapan akan kemampuannya sebagai sarana legitimasi. Media sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, seni, dan kebudayaan, merupakan bagian dari alat kekuasaan Negara yang bekerja secara ideologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa.
Akan tetapi, pandangan Althusser tentang media ini dianggap Antonio Gramsci (1971, dalam Al- Zastrouw, 2000) mengabaikan resistensi ideologis dari kelas tersubordinasi dalam ruang media. Bagi Gramsci, media merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi.
Antonio Gramsci melihat media sebagai ruang dimana berbagai ideologi direpresentasikan. Ini berarti, disatu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan control atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.
Walaupun terjadi keritik antara Althusser dan Gramsci, namun kedua pemikir itu sama-sama sepakat bahwa media bukan sesuatu yang bebas, independen, tetapi memiliki keterkaitan dengan realitas sosial. Jelasnya, ada berbagai kepentingan yang bermain dalam media.
Disamping kepentingan ideologi antara masyarakat dan Negara, dalam media juga terselubung kepentingan yang lain, misalnya kepentingan kapitalisme pemilik modal, kepentingan keberlangsungan lapangan kerja bagi para karyawan dan sebagainya. Dalam kondisi dan posisi seperti ini, media tidak mungkin berdiri statis di tengah-tengah, dia akan bergerak dinamis diantara pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. Kenyataan inilah yang menjadikan bias informasi dimedia adalah sesuatu yang sulit dihindari.
Oleh sementara orang, media acap kali disebut sebagai the fourth estate (kekuatan keempat) dalam kehidupan sosial-ekonomi politik. Hal ini terutama disebabkan oleh suatu persepsi tentang peran yang dapat dimainkan oleh media dalam kaitannya dengan pengembangan kehidupan sosial-ekonomi dan poitik masyarakat.
Sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian, atau gambaran umum terntang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik, antara lain, karena media juga dapat berkembang menjadi penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam kehidupan yang empiris.
Sehubungan dengan hal tersebut, sebenarnya media berada pada posisi yang mendua, dalam pengertian bahwa ia dapat memberikan pengaruh-pengaruh positif maupun negatif. Tentu saja, atribut-atribut normatif ini bersifat sangat relatif, bergantung pada dimensi kepentingan yang diwakili.
Berdasarkan kemungkinan yang dapat diperankan kita itu, media (media massa) merupakan sebuah kekuatan raksasa yang sangat diperhitungkan. Dalam berbagai analisis tentang kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, media sering ditempatkan sebagai sebagai salah satu variabel determinan. Bahkan media, terlebih dalam posisinya sebagai saluran informasi, dapat pula dipandang sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses-proses perubahan sosial-budaya dan politik.
Salah satu dari media yang paling efektif adalah televisi. Ketika kita menonton televisi kerap kali kita disuguhi berbagai macam iklan disamping acara-acara utama lainnya. Dari banyaknya iklan di televisi ini, tak jarang pula ada iklan yang nampak biasa-biasa saja. Namun apabila kita kaji dan perhatikan lebih mendalam, di sana kita dapat menemukan berbagai pesan yang terbungkus atau tersembunyi (sebut saja ideologi), baik itu memang disengaja dibuat demikian (“dibalut”) atau memang unsur ketidaksengajaan yang muncul sebagai efek.
Yang paling menarik di antara iklan-iklan tersebut salah satunya adalah iklan kecantikan. Baik itu iklan sabun, sampo, pemutih atau lainnya yang berhubungan dengan kecantikan dan wanita. Sebab dalam iklan-iklan tersebut kadang ada yang dengan jelas menyebutkan “sesuatu” yang biasanya tersembunyi.
Memang pesan dalam iklan tersebut tujuan awalnya adalah agar konsumen tertarik membeli dan mengkonsumsinya, namun kini menjadi lain ketika dalam iklan itu dibubuhi kalimat atau komentar yang menyertai iklan itu misalnya ungkapan: “temukan kecantikan sejati”. Dan bisa jadi yang demikian itu karena ditumpangi suatu kepentingan (ideologi) tertentu.
Apa Sih kang Dadi Masalahe?
Mengacu pada latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan adalah iklan kecantikan semisal sabun mandi, pemutih wajah dan lainnya serta efek yang muncul (pemaknaan) dari iklan tadi, yang mungkin di sadari atau tidak dapat menggiring opini masyarakat terhadap sesuatu. Misalnya opini atau konsep kecantikan. Oleh karena itu, kajian ini berusaha menelusuri “sesuatu” yang terselubung di dalam iklan kecantikan, selain fungsinya sebagai ajang promosi suatu produk.
Patokan Teori [istilah Jare mahasiswae kukuh, sambir diarani ilmiah]
Metode yang penulis gunakan pada intinya adalah semacam metode analisis isi-interpretatif yang bersandar pada teori semiotik. Hingga dapat dikatakan ini adalah metode semiosis. Di mana dalam metode ini langkah yang ditempuh adalah mengurai aspek-aspek tanda dan menganalisis relasi dari masing-masing aspek tersebut, yang dari relasi itu dapat memunculkan makna tertentu, bahkan maknanya dapat berlapis.
Dasar Pemikiran [itung-itung teori kang dadi sandaran, jeh]
Semiotik sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai system yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda’. Dengan demikian semiotik mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Umberto Eco menyebut tanda sebagai “kebohongan”; dalam tanda ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya dan bukan merupakan tanda itu sendiri. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas, dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial.
Itu pula yang memunculkan pendapat Paul Watson, salah seorang pendiri Greenpeace, tentang prilaku media massa. Menurutnya konsep kebenaran yang dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Kebenaran ditentukan media massa.
Jika sinyalemen ini benar, dapat kita bayangkan betapa beratnya tugas pembaca berita atau penonton televisi dalam menyikapi dan “membaca’ acara, atau iklan yang sudah menjadi santapan sehari-hari. Penerima informasi dituntut memiliki kemampuan memadai untuk menyaring sebuah informasi baik apakah itu berupa berita, filem, iklan atau lainnya.
Karena itu, salah satu cara untuk membantu kita memnyikapi informasi-informasi tersebut adalah konteks informasi itu. Lewat konteks informasi, kita dapat memahami masalah yang ada. Lewat konteks ini kita dapat menyadari atau “ngeh” bahwa dalam informasi tersebut, disamping dihidangkan “madu, juga mengandung hidangan “racun”. Melalui konteks ini kita dapat mengerti bahwa sesuatu yang buruk bisa dibungkus dengan bahasa yang manis sehingga tampak samara-samar dan menyenangkan.
Isi media pada hakikatnya adalah hasil kontruksi realitas dengan tanda sebagai perangkat dasarnya. Ia bukan saja dapat menjadi alat merepresentasikan realitas, namun juga dapat menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh tanda tentang realitas tersebut. Sehingga mempunyai peluang besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruknya.
Karena itu, dalam banyak kasus, kita temukan berbagai kepentingan yang memiliki kekuasaan mengendalikan makna di tengah-tengah pergaulan sosial melalui media. Dalam media tanda tidak lagi semata alat untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa menentukan gambaran atau citra yang akan muncul di benak masyarakat.
Lalu bagaimana kita supaya tidak terjebak oleh berbagai informasi, agar kita tidak tersesat? Salah satu jawaban yang tepat adalah kita mesti hati-hati dan waspada serta pandai membaca ‘tanda’ apapun yang kita terima, lebih-lebih berupa informasi yang datangnya dari media, baik itu elektronik atau lainnya.
Berbagai ‘cara baca’ pun telah disuguhkan oleh para pakar, mulai dari analisis framing, labelling, analisis wacana dan lain sebagainya, semuanya diperuntukkan untuk ‘membaca’ media. Karena, sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa media menjadi suatu ajang ‘pertarungan’ dari berbagai kepentingan.
Sebagai model pendekatan, semiotika memiliki wilayah cakupan yang luas meliputi berbagai bidang keilmuan, keagamaan, estetika, dan budaya. Ke empat wilayah ini memiliki korelasi dan ciri khas masing-masing. Pada bidang budaya, korelasi antara tanda-tanda adalah dengan nilai-nilai sosial yang ada pada lingkungan masyarakat tertentu, bahkan idiologi.
Secara teoritik, semiotika berusaha untuk dapat memjelaskan semua permasalahan fungsi tanda, bahkan mempertimbangkan teori kode dan teori produksi tanda. Beranjak dari sini, pada dasarnya semiotika berhubungan dengan segala hal yang dapat dianggap sebagai tanda. Tanda adalah sesuatu yang dapat dianggap sebagai pengganti sesuatu yang lain secara signifikan. Sesuatu yang lain itu tidak harus ada benar-benar ada di suatu tempat pada saat tanda menggantikannya.
Sebab itulah, Eco mengajukan teori dusta sebagai dasar kajian semiotik umum yang komprehensif, karena pada prinsipnya semiotika adalah disiplin ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendustai, mengelabui, atau mengecoh.
Dari beberapa tokoh semiotik yang ada, pada intinya membahas masalah tanda dan bagaimana kita “membaca” tanda tersebut. Roland Barthes, salah seorang tokoh semiologi, terkenal dengan semiotika konotasinya. Dalam teori ini, para ahli semiotika tidak berpegang pada makna primer (denotasi) tanda yang disampaikan, melainkan berusaha mendapatkan makna sekunder (konotasi) yang juga dipunyai tanda itu.
Roland Barthes membagi tingkat pertandaan menjadi dua, yaitu tingkat pertandaan denotatif dan tingkat pertandaan konotatif. Denotasi merupakan tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak.
Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, terbuka terhadap berbagai kemungkinan. Memunculkan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek.
Dalam semiologi, makna denotasi dan konotasi memegang peranan sangat penting. Makna denotasi bersifat langsung yaitu makna yang khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, gambaran sebuah petanda. (Arthur Asa Berger, 2000:55) Misalnya buku, maka makna denotasi yang terkandung adalah “sebuah buku yang terbuat dari kertas, berisi tulisan, dengan penyusunan tertentu dan seterusnya. Sedangkan makna konotatif akan dihubungkan dengan konteks yang tersirat dalam pembungkusnya.
            Konteks ini merupakan sesuatu yang diluar teks yang dapat ‘menentukan’ makna tertentu. dengan adanya atau melihat konteks tersebut kita dapat lebih memahami, atau setidaknya mendekati makna yang cocok atau benar. Sebab tanda dapat diproduksi dan sekaligus memproduksi tanda. Demikianlah sehingga memunculkan apa yang disebut rantai semiosis.
Ana Apa ning sewalike Iklan Kecantikan?
            Nampak seorang gadis berwajah putih, orang-orang di sekelilingnya menatap penuh kekaguman. Dan di akhir iklan terdengan suara “Seputih kilau mutiara”. Pada iklan yang lain, masih tema kecantikan, seorang gadis sedang membalurkan pemutih wajah, seketika wajahnya menjadi putih bersinar dengan diiringi kalimat “temukan kecantikan sejati”.
            Bila hanya di lihat sekilas, semua orang tahu bahwa itu hanyalah iklan. Untuk menarik para konsumen, maka iklan dibuat sedemikian rupa agar masyarakat tertarik membeli produk yang ditawarkannya. Bahkan banyak di antara peroduk, melalui iklannya seolah hanya produknyalah yang paling jempolan.
            Dari iklan-iklan yang ada, seperti di atas, pada awalnya ingin memberikan dorongan agar masyarakat membeli formula tersebut yang berguna untuk merawat kulit, akan tetapi dari iklan yang tampil seolah (bahkan) menggiring masyarakat kepada opini bahwa formula itu bukan sekedar perawatan bahkan lebih dari itu, yaitu sesuatu yang dapat memberikan “perubahan”. Kulit kusam dan hitam akan berubah menjadi putih berseri.
            Jika diperhatikan lebih jauh, ternyata hampir di setiap iklan kecantikan, entah itu sabun mandi, pemutih wajah atau lainnya semuanya mengarahkan kepada pengertian bahwa kecantikan seseorang ditentukan oleh putihnya wajah. Jika demikian adanya, lalu bagaimana nasib orang yang tidak putih kulitnya?
            Kecantikan bukan dilihat dari segi fisik saja, misalnya wajah putih. Memang kecantikan tidak dapat ditentukan secara pasti [sifatnya subjektif], akan tetapi setidaknya ada standar atau batas-batas yang setiap orang mengakui bahwa itu cantik atau indah. Dari segi fisik, kemungkinan besar, menurut hemat saya kecantikan bukan ditentukan dari putih atau kuningnya wajah seseorang, tetapi dari harmoni yang tercipta dalam sekujur tubuh seseorang.
Misalnya wajah [pusat perhatian], ia akan terlihat cantik karena di situ ada harmoni, yaitu relasi yang berhubungan secara seimbang. Bentuk hidung, bibir, mata, alis, dagu, mulut, dan bentuk wajah masing-masing berelasi satu sama lain secara harmoni atau relasi yang cocok. Dapat dibayangkan jika bibirnya, katakan saja terseksi di dunia namun hidungnya panjang seperti hidung dawala.
            Selain itu, kecantikan juga bukan hanya dari fisik yang ditampilkan. Prilaku dan sikap seseorang juga berperan menentukan kecantikan. Singkatnya cantik itu indah dalam lahir dan batin.
            Dalam iklan-iklan tadi, secara tak sadar telah melakukan perubahan atau pergeseran pemaknaan. Putih menjadi penanda bagi kecantikan. Menggeser  konsep kecantikan yang luas hanya pada putihnya kulit wajah. Bahwa yang cantik adalah orang yang berkulit putih. Jika seseorang [gadis] ingin cantik, maka ia mesti menggantikan kulitnya dengan warna putih. Ini dapat dilihat jelas dari iklan tersebut yang mengidentikkan kecantikan dengan putihnya wajah (baca:kulit).
            Dari pergeseran tersebut dapat timbul pemaknaan baru yang tersimpan dari iklan tersebut, yaitu orang yang tidak putih wajahnya tidak akan pernah cantik, bahkan lebih parah lagi, bahwa orang yang berkulit putih lebih diperhatikan dan dihargai.
Masih banyak lagi makna-makna baru yang dihasilkan, misalnya orang putih itu mempesona, menarik, dan indah. Sementara orang yang berkulit hitam, coklat, atau lainnya adalah orang yang tidak menarik, tidak mempesona, dan stigma-stigma negatif lainya. Singkatnya orang berkulit putih lebih unggul dari yang tidak berkulit putih. Iklan ini menggiring masyarakat menilai seseorang dari warna kulitnya [rasisme]. Jelas ini menyesatkan!
            Bahkan jika ditelusuri lebih jauh, maka yang dihasilkan akan semakin berlapis dan berkembang. Bila kita kaitkan dengan warna kulit putih, maka di muka bumi ini penduduk benua Eropa-lah (Barat) yang diuntungkan sebab merekalah yang memiliki warna kulit putih. Dengan kata lain, jika anda ingin dihargai, mempesona, cantik dan lain-lain yang serba menarik, maka jadilah seperti orang Eropa tersebut.
            Dari perkembangan makna ini kita “memperoleh’ makna yang lebih ‘menyeramkan’ yaitu bahwa dari iklan itu kita (terutama Indonesia umumnya berkulit sawo matang atau hitam manis) disisihkan (diskriminasi), diposisikan sebagai inferior dan mereka (Eropa) sebagai superior. Maka tatkala terjadi relasi superior-inferior, hubungan ini memunculkan relasi subjek-objek, di mana kita posisinya adalah sebagai objek.
            Dan saat hubungan seperti itulah, yakni tiada adanya kesejajaran, pengakuan satu sama lain/penghargaan, maka muncullah dari satu pihak yang menjadikan dirinya sebagai subjek menguasai dan mengendalikan pihak lain yang diposisikan sebagi objek oleh mereka. Pada awalnya sederhana, namun akhirnya memunculkan rasisme kemudian hegemoni dan penjajahan. Dan yang terjadi adalah bukan penjajahan secara fisik (dalam arti perang senjata) melainkan mental kita telah disetir, dikendalikan oleh opini yang diciptakan. Dan memang itu kesan yang kadang memang disengaja untuk dimunculkan, hanya saja kita tidak menyadarinya.
            Kita dapat melihat kenyataan ini, sebagai contoh dan yang paling mudah ditemui adalah apa yang tergambar dalam gaya hidup. Banyak di antara generasi kita yang lebih memilih berkiblat kepada barat, mulai dari cara berpakaian hingga tetek bengek. Mungkin ini adalah salah satu dari akibat tidak memiliki kemampuan untuk menyaring dan “membaca” setiap informasi yang datang kepada kita.
Kesimpulan
            Dari uraian singkat dan sederhana di atas, kiranya kita dapat menemukan bahwa ternyata suatu informasi dapat memiliki peluang, di samping ia menjalankan sesuai tujuan kadang juga diboncengi “sesuatu” yang terbungkus di dalamnya. Ada manis dan pahitnya.
            Dalam iklan kecantikan, kita dapat membaca bahwa selain memiliki fungsi sebagai media promosi, ia juga dapat memberikan dan memnggiring opini, bahkan mencetak makna sesuai dengan kepentingan atau ideologi tertentu.
 
Referensi:
Berger, Arthur Asa. 2000. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana
Cobley, Paul & Litza Jansz.2002. Mengenal Semiotika; For Beginners, peny. Ciptadi Sukono,   Bandung: Mizan
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes, Magelang: Indonesiatera
Piliang, Yasraf Amir . 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural studies atas Matinya Makna, Bandung: Jalasutra
Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media; Suatu pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis           Framing, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
Sunardi, ST, Semiotika negativa, Yogyakarta: Kanal
Tillich, Paul.  2002. Teologi Kebudayaan: tendensi aplikasi dan komparasi, alih bahasa: Miming Muhaimin, IRCiSOD, Yogyakarta

Komca

Terima Kasih telah berkunjung dan membaca artikel ini.

1 komentar:

 

Copyright @ 2013 Komunitas Baca Mata Hati.

Designed by Templateism | MyBloggerLab | Distributed by Rocking Templates